SEORANG wanita paruh baya, sebut saja namanya Dahlia, kembali harus memungut dua jeriken putih yang ditaruhnya di tanah. Setelah mengantre berjam-jam, wanita berjilbab itu terpaksa pulang dengan raut muka kecewa lantaran minyak yang ingin dibelinya habis sebelum antreannya tiba.
Dahlia telah mengantre minyak curah di salah satu agen di Polewali Mandar sejak pagi. Di sana, tiap pembelian dibatasi maksimal lima liter per orang dengan harga Rp14 ribu per liter. Karenanya, setiap pembeli diwajibkan menunjukkan KTP agar tidak bisa membeli lebih dari kapasitas yang telah diberikan. “Sudah kehabisan. Besok coba antre lebih pagi,” ujar Dahlia.
Kisah seperti yang dialami Dahlia kini seolah menjadi pemandangan yang biasa kita temui dalam empat bulan terakhir. Sebuah pemandangan yang paradoks, untuk terjadi di negeri penghasil minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia, Indonesia, dengan realisasi produksinya pada tahun 2021 menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menembus angka 46,88 juta ton.
Ya, sejak tahun 2006 posisi Indonesia sudah tergantikan sebagai produsen terbesar dunia. Pada tahun 2019 lalu, produksi sawit Indonesia tercatat mencapai 43,5 juta ton, mengungguli Malaysia yang berada di peringkat dua dengan total produksi sawit sebesar 19,3 juta ton. Berikutnya Thailand membuntuti di peringkat tiga dengan catatan 3 juta ton per tahun. Sementara Kolombia dan Nigeria masing-masing berada di peringkat lima, dengan jumlah produksi tahunannya masing-masing sebesar 1,68 juta ton dan satu juta ton.
Dengan kemampuan produksi tahunan sebesar itu, Indonesia pada dasarnya mampu mengisi hingga 98,5 persen dari kebutuhan sawit dunia, yang dalam kurun waktu November 2020 hingga Oktober 2021 oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture/USDA) disebut sebesar 47,6 juta ton. Jumlah kebutuhan tersebut kemudian diperkirakan bakal meningkat menjadi 50,6 juta ton pada periode November 2021 hingga Oktober 2022 mendatang.
Mengapa Langka?
Nah, dari sederetan data tersebut, menjadi tidak masuk akal rasanya ketika kebutuhan minyak goreng dalam negeri justru tidak dapat terpenuhi. Sudah harganya menjulang, stok di pasaran pun kerap kali menghilang.
Bila ingin jawaban simpel, dangkal, dan tendensius terhadap pemerintah, kita dengan mudah bisa menyebut bahwa pemerintah telah salah urus dalam pengelolaan komoditas sawit nasional. Namun bila ingin mengurai permasalahan secara lebih fundamental, nampak jelas terlihat bahwa kondisi saat ini merupakan hasil kelindan dari dampak berantai (domino’s effect) beberapa masalah yang sebelumnya sudah terjadi, yang sayangnya seperti luput dari prediksi.
Salah satu masalah laten di industri sawit nasional yang tak kunjung rampung permasalahannya adalah kebijakan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED) II yang diterapkan oleh negara-negara Uni Eropa sejak tahun 2018, yang terbukti mendiskriminasi produk CPO Indonesia dengan sejumlah isu negatif, seperti menyebabkan deforestasi, isu gambut, menyebabkan kolesterol dan sebagainya.
Buntut dari tudingan buruk tersebut, pada tahun 2019 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan signifikan nilai ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) ke sejumlah negara. Misalnya ekspor CPO ke Inggris yang menyusut 22 persen, dan bahkan ke Belanda yang merosot hingga 39 persen. Tak hanya ke dua negara itu, pelemahan kinerja ekspor CPO juga terhadi untuk negara tujuan Jerman, Italia, Spanyol dan Rusia.
Berkedok isu lingkungan, kalangan pelaku industri sawit dalam negeri justru menuding kebijakan RED II tak lebih merupakan bentuk kepanikan Uni Eropa terhadap persaingan produk minyak nabati dunia. Dengan volume ekspor sawit Indonesia yang terus melonjak dari 26,46 juta ton pada 2015 menjadi 27,35 juta ton pada 2017 dan mencapai 28,27 juta ton pada 2019, diyakini Uni Eropa mulai khawatir produk minyak nabati mereka, seperti minyak bunga matahari (sunflower) dan minyak zaitun (olive oil) bakal terdesak di pasar domestik mereka sendiri.
Biodiesel
Tak ingin berada dalam tekanan, mulai dari serangan black campaign hingga ancaman boikot, Presiden Joko Widodo pun menyatakan bahwa pasar Eropa lah yang membutuhkan produk sawit Indonesia, dan bukan sebaliknya. Maka jika mereka menutup pintu atau bahkan memusuhi produk sawit Indonesia, pemerintah tidak akan ambil pusing. “Kita gunakan sendiri saja (produk sawit nasional). Kenapa harus bertarung dengan Uni Eropa karena kita dibanned, didiskriminasi? Kita pakai sendiri saja untuk biodiesel, biofuel. Pasar kita juga sangat besar untuk menyerap produk kita sendiri,” ujar Presiden, akhir tahun 2019 lalu.
Salah satu program yang diandalkan Jokowi dalam menyerap produksi sawit domestik yang sangat besar, diantaranya adalah program pengembangan biodiesel, yang kini telah sampai di tahap B30. Artinya, memproduksi energi terbarukan dengan mencampur 70 persen minyak solar dengan 30 persen minyak sawit. Dalam memproduksi sumber energi ramah lingkungan ini, Indonesia menjadi yang terdepan di dunia sebagai satu-satunya negara yang telah berhasil mencapai tahap B30.
Indonesia mengungguli negara-negara lain, seperti Argentina, Brasil hingga Amerika Serikat yang maksimal baru mencapai tahap B20, yaitu mencampurkan 80 persen minyak solar dengan 20 persen minyak sawit. “Kita akan lanjut terus sampai ke B50, B70 hingga targetnya B100. Ini jelas butuh pasokan sawit yang besar. Jadi kalau mereka (Uni Eropa) tidak mau (konsumsi sawit Indonesia), ya kita konsumsi sendiri saja. Dampaknya di harga CPO juga pasti akan kelihatan. Satu-dua tahun ke depan pasti naik, sehingga petani juga akan bisa menikmati harga yang baik,” tutur Jokowi.
Rusia vs Ukraina
Sekian waktu berlalu, peta industri sawit dan juga minyak dunia kembali berubah seiring invasi militer yang dilancarkan oleh Rusia ke Ukraina, pada Februari 2022 lalu. Perang dua negara Eropa Timur ini berdampak pada terganggunya pasokan minyak nabati dunia, di mana Ukraina merupakan pemasok minyak bunga matahari (sunflower) dengan kontribusinya mencapai 17 persen terhadap total permintaan dunia. Sejak dibombardir oleh serangan Rusia, praktis pasokan tersebut benar-benar terhenti.
Salah satu negara yang paling terpukul atas berhentinya pasokan minyak sunflower Ukraina adalah India. Selama ini, India tercatat sebagai importir minyak nabati terbesar di dunia, dengan kebutuhan 25 juta ton per tahun, dengan komposisi sebesar 56 persen berupa minyak sawit, 27 persen minyak kedelai dan 16 persen sisanya merupakan minyak bunga matahari. Masalahnya dari total kebutuhan minyak matahari yang setara dengan volume 4 juta ton itu, 90 persen diantaranya selama ini dipasok dari Ukraina dan juga Rusia.
“Tak hanya India, negara-negara lain yang semula pengkonsumsi minyak sunflower juga pasti terganggu karena dua negara itu (Rusia dan Ukraina) termasuk penghasil utamanya di dunia. Sehingga mau tidak mau subsitute-nya ya CPO. Ini yang membuat harga (CPO) langsung loncat dari Rp14.600 di awal Februari menjadi Rp18.000 kemarin,” ujar Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, pada pertengahan Maret lalu.
Tak hanya faktor gangguan perang, menurut Lutfi, penurunan volume pasokan CPO dunia juga dipengaruhi pengurangan jumlah tenaga kerja sawit di Malaysia yang membuat produksi sawit negara tersebut mengalami penurunan. Selain itu, faktor cuaca berupa curah hujan tinggi yang melanda Indonesia juga turut menggerus volume produksi, meski tidak cukup signifikan.
Blunder HET
Dengan tingginya harga jual CPO di pasar internasional, dikhawatirkan pengusaha sawit domestik akan lebih memprioritaskan penjualannya ke pasar ekspor. Untuk mengantisipasi hal itu, per akhir Januari 2022 Lutfi mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), di mana produsen sawit wajib menyiagakan 20 persen dari tota produksinya untuk dipasarkan di dalam negeri. Aturan yang pada pertengahan Maret 2022 kembali dinaikkan menjadi 30 persen. “Ini adalah bentuk keadilan yang dihadirkan pemerintah agar pasokan untuk dalam negeri terjamin,” ujar Lutfi, dalam keterangan resminya, saat itu.
Tak hanya mengamankan pasokan, Kementerian Perdagangan per 1 Februari 2022 menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dengan harapan harga beli di masyarakat dapat tetap terjaga dan tidak mengikuti fluktuasi harga dunia yang terus melambung. Dalam aturan tersebut, minyak goreng curah boleh dijual dengan harga maksimal Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp13.500 per liter dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp14.000 per liter.
Sayang, alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan DMO dan HET ini justru menjadi penyebab utama hilangnya pasokan minyak goreng di pasaran. Di satu sisi dengan kebijakan DMO maka tidak ada pilihan lain bagi produsen sawit domestik untuk menyisakan 30 persen dari kapasitasnya untuk dijual di pasar dalam negeri. Yang jadi masalah, di level distributor oleh pemerintah diwajibkan menjual dengan harga sesuai HET, padahal mereka membelinya dari produsen masih dengan menggunakan harga yang sudah tinggi.
“Jadi simpelnya begini. Mereka (distributor) ini sebelumya sudah membeli (dari produsen) dengan harga tinggi. Lalu oleh pemerintah tiba-tiba disuruh jual sesuai HET yang itu jauh di bawah harga beli mereka. Mau dilempar ke ekspor juga kena DMO. Ya ketimbang rugi mending tahan dulu. Tidak distribusi dulu sampai harganya lebih masuk akal. Jadi ini bukan aksi menimbun barang, tapi menghindari kerugian,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bagian Perdagangan, Juan Permata Adoe.
Penjelasan Juan dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. Tidak hanya kalangan distributor, para eksportir sawit disebut Sahat juga melakukan hal yang sama, yaitu mengekspor sebanyak 70 persen dan menahan 30 persen sisanya di dalam negeri sesuai aturan DMO, meski produk tersebut tidak didistribusikan ke pasar dan lebih banyak ditumpuk di gudang agar tidak merugi akibat aturan HET.
“Prinsipnya kan yang penting 30 persen tidak dibawa keluar (ekspor), ya sudah biar di dalam negeri saja. Tapi jadi mangkrak, tidak didistribusikan karena namanya bisnis tentu tidak mau rugi,” ujar Sahat.
Kondisi itu terkonfirmasi, karena ketika aturan HET dicabut, pasokan di lapangan sudah langsung ‘banjir’. Kondisi itu menurut Sahat sekaligus membantah tudingan bahwa kosongnya pasokan minyak goreng di lapangan karena pengusaha lebih memprioritaskan ekspor. “Karena kalau (produknya) sudah diekspor, ya mau HET dicabut pun barangnya kan pasti sudah tidak ada. Nah ini kan buktinya ada. Lalu kenapa mahal? Ya artinya barang ini tadinya sudah didapatkan di level harga tinggi, sehingga mau tidak mau dijual ke pasar ya sudah tinggi. Itu saja,” tegas Sahat. (*) TSA