Sengkarut Hotel Sultan di GBK: Pontjo Sutoyo vs Negara 

Sengkarut Hotel Sultan di GBK: Pontjo Sutoyo vs Negara 

Jakarta – Hotel Sultan di area Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, kini telah dilabeli spanduk aset negara. Pemasangan spanduk peringatan ini terkait dengan tenggat waktu pengosongan lahan Hotel Sultan yang diberikan kepada PT Indobuildco selaku manajemen hotel bintang lima ini yang sudah berakhir.

Menurut Direktur Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPK-GBK) Rakhmadi A Kusumo, sebelum diputuskan pemasangan spanduk, pihaknya telah beberapa kali mengirimkan peringatan ke PT Indobuildco untuk segara melakukan pengosongan lahan.

Hal ini dilakukan untuk memuluskan rencana pengembangan GBK menjadi kawasan terintegrasi dan modern yang berstandar internasional.

“Jadi kami minta pada pihak Indobuildco maupun manajemen Hotel Sultan bisa bekerja sama dan segera mengosongkan lahan Blok 15 ini,” katanya dikutip 5 Oktober 2023.

Baca juga: Satgas BLBI Sita Aset Senilai Rp111,2 Miliar di Jaksel

Kronologi Penutupan Hotel Sultan

Melansir berbagai sumber, pengosongan lahan Hotel Sultan berawal dari polemik antara Direktur Utama PT Indobuildco Pontjo Sutowo dan pemerintah terkait pengelolaan Hotel Sultan.

Polemik berawal pada 2006, di mana Kala itu,Pontjo Sutowo melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam gugatan tersebut, Pontjo menggugat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Mensekneg selaku Ketua BDN Pengelola GOR B. Karno, Jaksa Agung, Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta, dan Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Jakarta Pusat.

Perkara dimulai pada 1971 saat PT Indobuildco diberi tugas oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun gedung konferensi yang bertaraf internasional dengan segala kelengkapannya.

PT Indobuildco juga ditugaskan membangun hotel internasional yang harus selesai pada 1974. Atas tugas tersebut, PT Indobuildco melakukan perjanjian dengan Pemda DKI Jakarta dengan sejumlah poin yang ditandatangani pada 19 Agustus 1971.

Salah satunya, PT Indobuildco mendapat izin penggunaan lahan seluas 13 hektare dengan membayar kepada Gubernur USD1,5 juta untuk jangka waktu 30 tahun.

Dalam perjanjian itu, juga disebutkan gubernur DKI Jakarta kala itu akan membantu soal penyelesaian tanah dan perizinan dan semua biaya dibebankan kepada penggugat. Dituliskan pula, masalah tanah sepenuhnya menjadi tanggung jawab gubernur.

Kemudian, pada 3 Agustus 1972 terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 181/HGB/Da/72 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan Pontjo untuk jangka waktu 30 tahun.

Namun, HGB tersebut dipecah menjadi dua, yakni nomor 26/Gelora tanah seluas 57.120 meter persegi dan HGB Nomor 27/Gelora seluas 83.666 meter persegi. Kedua HGB itu memiliki masa berakhir pada 4 Maret 2003.

Lalu pada 2002, PT Indobuildco mengklaim telah melakukan perpanjangan terhadap kedua HGB tersebut. Perpanjangan tersebut diklaim telah disetujui selama 20 tahun berdasarkan surat keputusan Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta.

Perpanjangan tersebut juga diklaim telah dicatat pada Buku Tanah dan sertifikat kedua HGB diatasnamakan penggugat. Meski demikian, ternyata ada Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Sekretariat Negara Republik Indonesia cq Badan Pengelolaan Gelanggang Olah Raga Senayan.

Hal tersebut yang mendasari gugatan oleh pihak Pontjo Sutowo. Dalam petitumnya, penggugat juga meminta agar surat keputusan Kepala BPN itu dinyatakan cacat hukum. Pada 2007, hakim pun membacakan vonis atas gugatan yang dilayangkan PT Indobuildco dan dalam vonisnya, hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagian.

Hakim menyatakan surat perpanjangan HGB oleh PT Indobuildco sah menurut hukum. Sementara SK Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 adalah tidak sah dan cacat prosedur.

Atas putusan itu, pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Banding tersebut diterima, tapi putusannya menguatkan vonis PN Jakarta Selatan. Pemerintah terus melanjutkan langkah hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan hingga akhirnya dikabulkan.

Setelahnya, giliran PT Indobuildco yang mengajukan PK. Total perusahaan Pontjo mengajukan PK sebanyak tiga kali.  Dalam perkara ini, Pontjo meminta agar majelis hakim mencabut Keputusan Kepala BPN Nomor 169/hpl/bpn/1989 terkait pemberian hak pengelolaan kepada Kementerian Sekretariat Negara dan Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan.

Selain itu, Pontjo meminta agar Kakanwil ATR/BPN menerbitkan pembaharuan HGB kepada PT Indobuildco yang telah berakhir pada 4 Maret 2003 lalu.

Kini, pemerintah secara gamblang telah menyatakan bakal mengambil alih Hotel Sultan dari PT Indobuildco milik Pontjo. Hingga akhirnya, PPK-GBK telah melakukan upaya pengosongan lahan Hotel Sultan Jakarta di area Gelora Bung Karno (GBK). Hotel Sultan pun kini telah ambil alih pemerintah dan berlabel spanduk aset negara.

Baca juga: LMAN Kelola 158 Apartemen Hasil Sitaan BLBI, Harga Sewa Cuma Segini

Klaim Setor Rp80 Miliar per Tahun

Pontjo Sutowo mengklaim pihaknya rutin membayar pajak tanah Hotel Sultan Rp80 miliar per tahun ke negara. Ini ditegaskannya sebagai upaya membantah tuduhan PPK-GBK yang menyebutkan dirinya tak pernah bayar royati selama 16 tahun.

Sebenarnya, Pontjo mempertanyakan royalty tersebut, lantaran dia tak mengetahui ada istilah rolayti dalam pengelolaan lahan. Sementara PPK GBK menyebutkan bahwa Indobuilco tak membayar royalty pada rentang 2007-2023. (*)

Related Posts

News Update

Top News