Jakarta – Swasembada pangan bukan berarti hidup tanpa impor. Kegiatan impor sendiri mestinya mulai dianggap sebagai hal yang wajar dilakukan tiap negara di dunia lebih ke arah pertimbangan stabilitas harga. Pemerintah sendiri melakukan impor untuk menjaga pasokan agar harga pangan terjaga.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip Selasa 19 Februari 2019 mengatakan, berdasarkan ketetapan Food and Agriculture (FAO), sebuah negara dicap swasembada jika memiliki hasil produksi minimal 80 persen dari total kebutuhan.
Sementara jika menilik data produksi beras yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencapai 32,4 juta ton dengan perbandingan konsumsi 29,5 juta ton, Indonesia sudah surplus hampir 3 juta ton. “Jika melihat itu, Indonesia sekarang sudah swasembada,” ujar Bustanul.
Senada, ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal pun menegaskan, bahwa keberadaan impor bukanlah sesuatu yang haram. Pasalnya, tiap negara melakukan kegiatan perdagangan internasional yang satu ini, guna menjaga ketersediaan pasokan dan menjaga harga pangan itu sendiri.
“Impor itu kan bukan hal yang tabu. Semua negara pasti impor. Tidak ada negara yang tidak impor karena memang ini kan mekanisme supply and demand saja,” ucapnya,
Untuk Indonesia sendiri, dirinya memandang, impor pangan juga bukanlah suatu masalah. Hanya saja memang perlu dilakukan manajemen data terkait adanya perbedaan data antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan BPS yang selama ini memang selalu menjadi ajang perdebatan.
Kalau pun memang saat ini didapati ada data surplus hampir mencapai 3 juta ton pada produksi 2018, pada kenyataannya harga komoditas seperti beras cukup berfluktuatif. Itulah yang menurut pemerintah tidak bisa disalahkan. Di mana impor dilakukan untuk mencegah kenaikan harga yang lebih tajam.
“Kalau memang katanya surplus, seharusnya harga sudah bisa stabil dengan sendirinya kalau memang logistik surplus itu bisa didistribusikan dengan baik. Permasalahannya mungkin pada akhirnya kita bicara mengenai ongkos logistik yang mahal,” paparnya.
Bahkan apabila impor beras dalam hal ini tidak dilakukan, kenaikan harga untuk komoditas ini dapat kembali terjadi ke depan. “Karena harga itu salah satu indikator kelangkaan,” tukasnya.
Di tempat terpisah, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan impor pangan bukan terjadi baru-baru ini saja. Harus diakui memang semenjak tahun 1960, Indonesia sudah melakukan impor unutk beras.
“Buktinya dari data, kita impor beras terus sejak tahun 1960an,” kata Enggar.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengatakan, impor beras sangat diperlukan untuk menjaga kebutuhan pangan nasional juga guna menstabilkan harga di pasaran. “Karena itu, kami sampaikan dalam debat calon presiden (capres) bahwa impor itu sangat diperlukan,” jelasnya.
Pemerintah mengimpor beras untuk dijadikan sebagai cadangan strategis agar memenuhi ketersediaan pangan nasional. Selain itu, impor beras mampu menstabilkan harga di pasaran sehingga inflasi dapat teratasi. “Apabila, harga stabil dan inflasi terjaga dengan baik, tentu daya beli masyarakat meningkat,” ujarnya.
Menurutnya, impor beras juga bisa dilakukan apabila bangsa ini terkena bencana alam juga gagal panen akibat terserang hama maupun penyakit tanaman. “Karena itu, pemerintah masih memerlukan impor beras dari luar negeri,” tegas dia. (*)