Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu “menyentil” soal pinjaman online (pinjol) abal-abal. Sudah keterlaluan para pelaku/penyedia pinjol abal-abal ini, terutama cara menagihnya. Brutal. Tak manusiawi. Bahkan, ada debitur pinjol yang bunuh diri akibat menanggung malu karena beban pinjaman yang berat. Bunga-berbunga. Mahal. “Mencekik”. Namun, masyarakat jangan diajari untuk mengemplang utang, karena utang prinsipnya harus dibayar.
Setelah Presiden Jokowi bereaksi, semua kalang kabut. Padahal, pinjol ini sudah marak lebih dari delapan tahun lalu. Cara penagihannya lebih dari cara “setan” – memfitnah dan kerap membikin malu si peminjam/debitur terhadap teman-teman dan keluarga. Semua sepertinya harus Presiden yang berteriak, baru beres. Hal yang sama juga dalam bisnis PCR dan antigen. Sistem sepertinya tidak berjalan dengan baik.
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi pinjol ini berkembang pesat. Total penyaluran per Agustus 2021 mencapai Rp249,938 triliun. Jumlah pinjol yang berizin dan terdaftar di OJK sebanyak 106 perusahaan fintech. Lebih dahsyat lagi, akumulasi peminjam mencapai 68,4 juta peminjam.
Penetrasi pinjol begitu masif, membikin khawatir bank atas perkembangan pinjol, meski total penyalurannya masih belum 5% dari total kredit perbankan. Namun, karena mudah, tidak ribet administrasi dan berlaku seperti rentenir – hadir ketika dibutuhkan. Tidak peduli suku bunga tinggi, denda yang mahal, dan fee yang besar. Tetap saja pinjol laris manis – meski ada teror dan intimidasi dalam cara penagihannya.
Mengapa pinjol laris manis, baik yang abal-abal maupun yang resmi? Padahal, tindakan yang dilakukan pinjol ini seperti rentenir atau inang-inang di pasar. Hadir di depan mata. Dan, masyarakat yang terjerat pinjol ilegal ini bukan semata-mata karena “duafa” literasi dan terbatas dalam pemahaman pinjol. Tapi, karena kepepet, karena kebutuhan yang mendesak. Kesulitan keuangan. Apalagi di zaman pandemi Covid-19 ini.
Meski tiap hari ada pinjol ilegal yang ditutup, tetap saja muncul pinjol-pinjol ilegal lainnya. Mati satu, tumbuh seribu. Sejak 2018 sampai dengan 2021 sudah 3.516 pinjol ilegal yang ditutup. Selain karena servernya ada di luar negeri yang sulit terlacak dengan cepat, pinjol ini seperti rentenir yang tetap saja ada hingga sekarang ini.
Entah saking frustasinya, pemerintah pun, dalam hal ini Menko Polhukam, Mahfud MD, setelah “disentil” Presiden, mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. ”Pinjol ilegal tidak perlu dibayar…,” begitu potongan pernyataan Menko Polhukam. Dari pernyataan tersebut, pemerintah sepertinya menginginkan pinjol ilegal ini bangkrut. Tidak beroperasi lagi.
Namun, sejujurnya, pernyataan itu tidak pas. Menggampangkan persoalan. Pemerintah seharusnya hadir agar masyarakat tidak pinjam uang ke pinjol ilegal. Bukan hanya menarik pajak, tapi juga hadir dalam bentuk kebijakan dan langkah-langkah untuk menumpas pinjol ilegal ini. Pernyataan jangan bayar utang, seperti juga ketika ramai-ramainya debt collector menarik kendaraan di jalan, jangan bayar tentu tidaklah bijak.
Utang ya harus dibayar. Untuk mencegah dampak negatif, pemerintah mesti membenahi akar masalahnya. Tidak hanya menyangkut literasi, tapi juga tingkat pendapatan masyarakat. Jangan ada pengangguran. Pemerintah harus bisa menjaga masyarakat tetap berpenghasilan. Sejak pandemi Covid-19 ini, tingkat pendapatan masyarakat memang turun. Itulah akar masalah utama. Bukan malah mengajak masyarakat untuk tidak membayar pinjol.
Pernyataan “jangan membayar pinjaman” berdampak luas ke sektor lain. Bisa saja berimbas pada debt recovery ketika menagih pinjaman leasing atau utang bank. Pada dasarnya tidak mudah menagih pinjaman. Apalagi, pinjaman tanpa agunan. Ini bukan berarti menoleransi sikap pinjol abal-abal, namun semata-mata hendak menegaskan kembali kepada pemerintah untuk melindungi masyarakat dalam bentuk kebijakan.
Langkah-langkah, seperti literasi yang sudah dijalankan, ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Dan, masalah literasi ini perlu dimasifkan, terutama bagi kelompok rentan. Kelompok menengah pun sama – terutama tentang arti utang baik dan utang jahat. Tidak hanya itu. Sudah waktunya pemerintah secara otomatis memblokir situs-situs pinjol abal-abal, sama halnya ketika memblokir situs porno atau judi online. Tegas saja.
Sudah waktunya juga membenahi aturan. Banyak juga pinjol legal yang “gayanya’ seperti pinjol ilegal, terutama dalam menagih pinjaman, meski lebih soft. Indonesia butuh fintech untuk mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, sayangnya – hadirnya pinjol bukan semata-mata untuk usaha produktif, tapi, jujur, lebih ke konsumtif.
Ajakan untuk tidak membayar pinjaman ilegal merupakan sikap yang tidak bijak. Berdampak buruk bagi sektor lain. Buatlah kebijakan dan langkah politik yang elegan agar masyarakat tidak kesulitan keuangan. Sekali lagi, akar masalahnya bukan semata-mata pinjol ilegal, tapi karena masyarakat kita yang duafa literasi, karena masyakarat kita yang kesulitan keuangan.
Semoga ajakan untuk tidak membayar utang kepada pinjol ilegal tidak merembet ke sektor keuangan. Itu bisa saja terjadi jika masalah ini menjadi viral. Pada prinsipnya, jangan ajari masyarakat untuk tidak membayar utang. (*)