Jakarta – Industri perbankan syariah Tanah Air dinilai belum bisa berkompetisi dengan industri perbankan syariah global. Market share perbankan syariah Indonesia masih berada di level 7,7 persen, sementara pangsa market industri perbankan syariah di negara tetangga, Malaysia, sudah mencapai 20 persen dan Timur Tengah di atas 60 persen.
Direktur Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara, membeberkan sejumlah masalah yang melemahkan pangsa market industri perbankan syariah Tanah Air. Bahkan, Pandji mengatakan jika tindakan spin off UUS menjadi bank umum syariah (BUS) yang diwajibkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 12/2023 bukanlah solusi bagi industri perbankan syariah nasional.
Baca juga: POJK Spin Off UUS Dinilai Tak Optimal Dorong Perbankan Syariah ‘Berlari’
“Saya yakin bahwa kalau kita bisa memaksimalkan infrastruktur dari induk itu menjadi jalan pintas kita untuk lebih cepat tumbuh. Kalau kita berdiri di atas kaki sendiri, khususnya pada saat ini kita masih kecil, itu susah untuk bertumbuh,” ujar Pandji pada acara Sustainable State Owned Enterprise (SOE) dan Islamic Business Forum 2023 bertema “Boosting Up Sustainable Business through ESG and GRC: Babak Baru Spin-Off UUS” yang diadakan Infobank dan Asianpost bekerja sama dengan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Rabu, 27 September 2023.
Masalah pertama yang menimpa industri perbankan syariah Tanah Air, yakni tingkat literasi dan inklusi yang rendah. Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK 2022, tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah nasional hanya 9,14 persen dan 12,12 persen dari total tingkat literasi dan inklusi keuangan nasional 49,68 persen dan 85,10 persen.
Masalah kedua, yakni belum terbentuknya ekosistem halal. Pandji jelaskan bahwa untuk membentuk ekosistem halal diperlukan kolaborasi yang erat dan strategis dengan banyak pihak, seperti dengan lembaga keuangan sosial Islam, dengan kementerian dan lembaga, dengan industri halal, serta dengan lembaga keuangan syariah lainnya.
Kemudian, masalah yang ketiga, yakni belum adanya keberpihakan dan stimulus untuk perbankan syariah. Bagi Pandji, industri perbankan syariah Indonesia itu ibaratkan masih pada fase ‘anak-anak’ yang memerlukan dukungan komprehensif, termasuk permodalan.
“Memang kita sering lihat sih, ayo kita majukan perbankan syariah, kita bikin seminar syariah, kita bikin apa lagi. Tapi yang kita perlukan kan sebenarnya bukan itu. Yang kita perlukan kan dari OJK itu stimulus. Kalau soal seminar, kita bisa lihat dari Youtube,” tuturnya.
Lalu, yang keempat, sumber daya dan infrastruktur yang belum memadai. Ia terangkan bahwa sumber daya dan infrastruktur yang dimiliki industri perbankan syariah Indonesia masih tertinggal dibandingkan dari industri perbankan konvensional, sehingga mengakibatkan operasional yang tak efisien.
Baca juga: Milenial Jadi Pasar Menjanjikan Bagi Perbankan Syariah, Ini Buktinya!
Sumber daya dan infrastruktur di sini antara lain sumber daya manusia, pengetahuan dan keahlian, kapasitas networking, infrastruktur IT, serta saluran dan platform digital.
“Kemudian, produk dan layanan bank syariah yang masih terbatas, serta ukuran dan permodalan perbankan syariah yang masih lemah,” sebutnya.
Ia lalu memberikan aspirasi agar POJK No.12/2023 bisa dilakukan review, peningkatan tingkat literasi dan inklusi perbankan syariah melalui pola tersistemasi, pengembangan produk dan layanan syariah dengan keunikan syariah, serta adanya keberpihakan regulasi pada perbankan syariah. Steven Widjaja