Jakarta – Teknologi open source dan cloud diyakini dapat membantu perusahaan jasa keuangan Tanah Air, seperti perbankan untuk merespons kebutuhan nasabah di era digitalisasi, memberikan fleksibilitas di tengah kebutuhan bisnis yang terus berubah dan mempercepat bank melakukan transformasi digital.
Hal ini diungkapkan oleh Arvind Swami, Senior Director FSI, Asia Pacific – Red Hat. Menurutnya, di tengah kekhawatiran terjadinya pelemahan ekonomi global, perusahaan jasa keuangan diperkirakan akan terus berinvestasi dalam memodernisasi infrastruktur digitalnya untuk menghadirkan produk dan layanan keuangan yang semakin relevan bagi nasabah. Namun, akan terjadi pergeseran dari penggunaan provider cloud tunggal ke hybrid cloud.
Selain itu, sejumlah bank di Indonesia telah memodernisasi infrastrukturnya dengan cloud-native dan container. Di samping punya fleksibilitas, skalabilitas, dan interoperabilitas yang tinggi, teknologi ini juga diklaim aman dan sesuai regulasi, serta dapat memproteksi data dan aplikasi yang sensitif di private cloud atau di pusat data di on-premise.
Baca juga: Bos Superbank: Bankir Masa Kini Harus ‘Kawin’ dengan Teknologi
“Adopsi teknologi open source dan cloud di Indonesia melaju dengan cepat, bahkan kami melihat adopsi yang tinggi terhadap teknologi hybrid cloud di antara beberapa perusahaan paling mapan di Indonesia seperti Bank Mandiri, BCA, BTPN, dan Bank BRI. Cloud memberikan kemampuan untuk kecepatan dan skalabilitas yang lebih tinggi,” kata Arvind Swami, Rabu, 13 Maret 2024.
Arvind menambahkan, teknologi open source tingkat enterprise juga aman dari risiko serangan siber yang saat ini banyak membidik perusahaan jasa keuangan. Solusi seperti Red Hat OpenShift menerapkan kontrol keamanan pada rantai pasokan software dan meningkatkan keamanan aplikasi.
Salah satu contoh sukses bank dalam modernisasi layanan perbankan digitalnya adalah Bank Mandiri. Melalui superapp Livin’ by Mandiri, Bank Mandiri telah mengadopsi Red Hat OpenShift untuk membangun fondasi berbasis container untuk pendekatan pengembangan dan pengiriman berbasis layanan mikro.
“Dampaknya, Bank Mandiri dapat menghadirkan fitur-fitur baru kepada lebih dari 13 juta pengguna dalam waktu kurang dari 1 jam dan mempertahankan 99,95 persen uptime, bahkan saat terjadi permintaan puncak, terhadap berbagai layanan di 11 anak perusahaan,” tambah Arvind.
Berikutnya, ada BRI. Bank yang berhasil membukukan laba bersih Rp60,4 triliun per 2023 ini mengawali transformasi digital dengan meluncurkan superapp BRImo pada 2019. Untuk memodernisasi layanan digital ini, BRI menggunakan Red Hat OpenShift Container Platform yang terbukti meningkatkan pada kepuasan dan retensi pelanggan yang lebih tinggi. Hingga awal Desember 2023, aplikasi BRImo mencatatkan volume transaksi penjualan sekitar Rp3.700 triliun dengan jumlah pengguna aktif saat ini mencapai hampir 30 juta akun.
Lebih lanjut, menurut Arvind modernisasi dalam infrastruktur IT di perbankan ternyata menjadi salah satu penyebab meningkatnya indeks literasi keuangan. Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada peningkatan yang signifikan pada indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia, dari 38,03 persen di tahun 2019 menjadi 49,68 persen di tahun 2022.
Salah satu contoh kasus modernisasi perbankan yang dapat meningkatkan literasi keuangan dan inklusi keuangan adalah Bank BTPN Syariah. Bank ini fokus melayani keluarga prasejahtera produktif dengan target pasar potensial lebih dari 40 juta orang. BTPN Syariah menggunakan solusi Red Hat untuk membangun platform yang lincah untuk mengembangkan dan menerapkan aplikasi secara cepat dengan cara yang otomatis dan aman.
Baca juga: Teknologi AI Jadi Risiko Paling ‘Mengerikan’ pada 2026
“Solusi digital BTPN Syariah telah meningkatkan kepuasan nasabah sebesar 25 persen dan menempatkan bank ini pada posisi yang tepat untuk mendukung masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan dan memperkuat partisipasi keuangan masyarakat,” ujarnya.
Kemudian, perusahaan fintech pun memiliki peran penting dalam literasi keuangan dan penurunan angka golongan unbanked di Indonesia. Perusahaan fintech secara lebih luas juga memanfaatkan teknologi open source dan cloud untuk memberikan penawaran dan mereka memainkan peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mempunyai rekening bank, melalui pembayaran digital, e-wallet, pembiayaan mikro, dan pinjaman peer-to-peer.
Arvind juga mengapresiasi langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tiada henti menindak perusahaan fintech ilegal dan praktik penagihan yang tidak sesuai hukum.
“Penting untuk mengedukasi masyarakat agar tidak terjerumus pada kemudahan memperoleh pinjaman, yang dapat berujung pada jebakan utang dan ketidakstabilan keuangan,” pungkasnya. (*) Ayu Utami