Jakarta – Perubahan iklim menimbulkan berbagai tantangan bagi semua negara. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perlunya ekonomi berkelanjutan sebagai dasar untuk bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan, merupakan salah satu upaya dalam mengatasi perubahan iklim dan mengentaskan kemiskinan.
“Pentingnya untuk memastikan bahwa pembiayaan selaras dengan kerangka waktu yang realistis dan progresif agar transisi terjadi. Kita perlu memastikan bahwa mengatasi perubahan iklim dan mengentaskan kemiskinan, yang keduanya membutuhkan pembiayaan yang signifikan,” ujar Mahendra Siregar, Ketua DK OJK, Rabu, 27 Juli 2022.
Kebutuhan untuk menyeimbangkan lingkungan dengan kemajuan ekonomi dan sosial, tercermin dalam pentingnya mematuhi dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG’s di 2030. Kebutuhan menuju ekonomi hijau dengan periode transisi yang realistis adalah kunci penting karena krisis energi dan pangan global, sebagian besar disebabkan oleh gangguan geopolitik saat ini, telah mengekspos sejumlah kerentanan dalam ekonomi global.
“Sebagai contoh, Eropa menetapkan target hijau yang ambisius, yang akan membutuhkan tingkat pembiayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, juga jelas bahwa energi matahari dan angin tidak akan dapat memenuhi kebutuhan energi yang ada dari bahan bakar fosil dalam semalam, ini perjalanan yang sangat panjang ke depan,” ungkap Mahendra.
Kenyataan tersebut, telah mengakibatkan pembukaan kembali sementara sumber daya energi berbasis fosil, peningkatan impor minyak, serta klasifikasi energi bersih untuk memasukkan nuklir dan gas alam.
“Sementara situasi di Eropa menghadapi krisis, semua negara menghadapi masalah yang sama, dan meskipun kita berharap bahwa krisis saat ini bersifat sementara, ada kebutuhan mendesak untuk bekerja sama dan mengedepankan rencana realistis yang menyeimbangkan tujuan lingkungan, ekonomi dan sosial kita, sejalan dengan SDG PBB,” pungkasnya.
Di sisi lain, OJK juga telah menetapkan kerangka kerja untuk sektor pembiayaan Indonesia. Terlepas dari dampak pandemi, kinerja sektor jasa keuangan cukup kuat dengan modal yang dapat dikelola dan likuiditas yang cukup besar.
Mahendra mengatakan, bahwa pihaknya berkomitmen untuk mempromosikan ekonomi berkelanjutan untuk memastikan transisi yang lancar menuju ekonomi rendah karbon. Untuk mendukung Pemerintah, OJK juga telah menerbitkan sejumlah peta jalan pembiayaan berkelanjutan.
Tujuan strategis utama dari peta jalan keuangan berkelanjutan mencakup pembentukan ekosistem yang mendukung percepatan pembiayaan berkelanjutan, perluasan penawaran dan permintaan dana ramah lingkungan dan instrumen keuangan, dan peningkatan pengawasan serta koordinasi dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
“Inisiatif mengapit OJK meliputi insentif obligasi hijau dan dukungan terhadap ekosistem kendaraan listrik,” ujar Mahendra.
Selain itu, OJK juga telah mengadopsi pendekatan tiga pilar untuk mempromosikan pembiayaan hijau. Pertama, taksonomi hijau yang mewakili panduan komprehensif bagi lembaga keuangan dan emiten di seluruh industri untuk mengklasifikasikan sektor hijau dan non hijau menggunakan ambang batas yang divalidasi secara nasional.
Kedua, pencocokan bisnis atau jaringan. OJK memfasilitasi diskusi kelompok terfokus dan promosi bisnis antara pelaku industri dengan proyek hijau yang diusulkan dan calon pemodal untuk mendorong pembiayaan dan investasi yang lebih besar di sektor-sektor ini. Ketiga, insentif dan/atau bauran kebijakan disinsentif.
Selain pengawasan sektor jasa keuangan, OJK berkomitmen untuk mengorientasikan pembiayaan pada transisi yang seimbang menuju ekonomi hijau yang layak, memberantas kemiskinan dan memberikan stabilitas ekonomi dan sosial.
“Kita harus dapat meyakinkan bank, lembaga keuangan non-bank, penerbit sekuritas, dan perusahaan publik bahwa terlepas dari pentingnya mengatasi perubahan iklim, ada kelayakan finansial dalam transisi menuju keberlanjutan,” pungkasnya.
Namun demikian, lanjutnya, hal tersebut membutuhkan waktu pelaksanaan kebijakan yang pengembaliannya mungkin paling baik dalam jarak yang sangat jauh ke depan. “Inilah sebabnya mengapa ada kebutuhan untuk merencanakan transisi bertahap dan seimbang yang sekarang penting dan sangat mendesak,” tutup Mahendra. (*) Irawati