Jakarta – Serangan balasan Israel ke pangkalan militer Iran pada Jumat (19/4) sempat menimbulkan deretan saham Asia dan imbal hasil obligasi rontok.
Di sisi lain, harga minyak pun ikut melejit karena adanya kekhawatiran investor akan konflik yang meluas di Timur Tengah.
Lalu, bagaimana dampak perang Israel-Iran lebih jauh terhadap pasar keuangan?
Data Syailendra Investment Research Team mengungkap, bahwa dampak serangan balik Israel ke Iran cenderung terbatas. Hingga kini, belum ada serangan lanjutan yang mengindikasikan bahwa kedua negara berupaya menekan ketegangan konflik.
Kebijakan DPR Amerika Serikat (AS) yang meloloskan RUU bantuan dana militer senilai USD95 miliar atau setara Rp1.539 triliun untuk Israel, Ukraina, dan Taiwan.
Baca juga : Iran-Israel Memanas, Begini Dampaknya ke Pasar Modal Indonesia
Namun, para sekutu Israel berusaha menahan Israel agar tidak terjadi eskalasi. Investor juga mengamati rilis data inflasi AS per Maret yang masih melebihi konsensus.
Lalu, ekspektasi Fed cut rate berpotensi mundur ke September (sebelumnya Juni) dan cut rate juga menjadi lebih kecil. Di mana, Fed cut rate diestimasikan mundur ke September (estimasi sebelumnya Juni).
“Jumlah cut rate diperkirakan turun signifikan dari 7x menjadi hanya 2x sepanjang 2024,” tulis pernyataan tersebut.
Syailendra Investment Research Team menyebutkan, tensi Israel-Iran dapat berpotensi tidak terlalu meluas. Sebelumnya, Israel juga tak melakukan eskalasi militer saat Gulf War 1991 saat Iran melakukan serangan.
Bahkan, data historis menunjukkan perang di Timur Tengah tak pernah berlangsung lebih dari 1 tahun. Tekanan ke pasar saham dan obligasi maupun kenaikan harga oil bersifat temporer.
“Koreksi IHSG saat ini lebih dikarenakan melemahnya IDR terhadap USD hingga ke Rp 16.2k/USD (bukan karena perang). Penguatan USD didorong oleh ekonomi AS yang lebih baik daripada estimasi,” jelasnya.
Baca juga : Syailendra Capital: Ekonomi AS Mulai Melambat, Meski Inflasi Turun
Begitu juga dengan durasi perang yang tidak berpengaruh terhadap besaran koreksi suatu aset. Contohnya, saat terjadi Persian Gulf War selama 6,9 bulan, koreksi IHSG mencapai – 38,5%. Sebaliknya, saat Iraq War selama 8,84 bulan, IHSG hanya terkoreksi -0,2%.
“Worth to note, IHSG hanya terkoreksi 3 hari saat Iraq War dan 25 hari saat konflik Israel Palestine. Hal ini menunjukkan bahwa koreksi yang terjadi di IHSG bersifat temporer dan tidak dipengaruhi lamanya perang,” terangnya.
Harga Minyak
Syailendra menyebut, komoditas minyak cukup sensitif setiap kali terjadi perang dan cenderung naik tiap terjadi perang. Kenaikan terbesar terjadi saat Persian Gulf War +82,9% dalam waktu singkat hanya 2,24 bulan.
Di mana, makin tinggi lonjakan harga minyak, maka tekanan ke pasar saham makin besar (lihat koreksi IHSG dan S&P 500 saat Persian Gulf War).
“Pada konflik Israel vs Iran, kenaikan Brent relatif minim yakni ke $87/b (+0,26%MoM) dan WTI ke $82/b (+1,19%MoM) sehingga tekanan ke IHSG diperkirakan juga terbatas,” paparnya.
Indeks Dolar AS
Adapun transmisi risiko perang terhadap pergerakan indeks Dolar AS (DXY) menurut Syailendra sangat minim. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan DXY sejak awal 2024 sebesar +4,6%YTD lebih didorong karena ekonomi AS lebih baik daripada perkiraan investor (employment, retail consumption, dan lainnya).
Di sisi lain, adanya perbaikan economic growth outlook AS dari 2,1 persen -> 2,7 persen pada 2024F (by IMF, April’24). Selain itu, ekspektasi Fed cut rate yang dimulai 2024 (walaupun skala cut rate lebih kecil).
“Apresiasi terhadap US membuat DXY menguat dan menekan rupiah hingga ke IDR 16.250/USD pada Jumat (19/4),” tandasnya.