Jakarta – Satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinilai belum menunjukkan transformasi kebijakan yang ramah lingkungan untuk merealisasikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menjelaskan, alokasi APBN untuk aktivitas Pembangunan Rendah Karbon (LCD) selama 2018 hingga 2020 baik secara nominal masih rendah dimana di 2018 sebesar Rp34,5 triliun, 2019 sebesar Rp23,8 triliun dan 2020 sebesar Rp23,4 triliun.
“Proporsi alokasi pembangunan rendah karbon ke APBN juga kecil dari 2018 ke 2020 yakni 1,6%, 1,4% dan 0,9%. Ini adalah indikasi kuat bahwa semangat transformasi hijau belum jadi bagian penting resep merespons pandemi dan build back better seperti dilakukan banyak negara lain,” jelas Berly melalui diskusi virtual Indef bersama Greenpeace di Jakarta, Jumat 13 November 2020.
Berly menambahkan, dalam pengkajian lebih lanjut menunjukkan sekitar 60% dari dana LCD dialokasikan untuk transportasi yang didominasi oleh subsidi tarif transportasi publik. Menurutnya transformasi sektor energi yang vital untuk mencapai target 23% EBT (energi baru terbarukan) di bauran energi mendapat porsi lebih kecil dan masih belum didukung feed-in-tarif yang sesuai dengan karakteristik EBT.
Tak hanya itu, mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020-2024, produksi batu bara akan terus meningkat. Pada 2019, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2 persen.
Energi terbarukan seharusnya menjadi prioritas. Tipe energi ini terbukti menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada batu bara di setiap mata rantai selain tidak menghasilkan polusi dan gangguan pernapasan. Ditambah biaya tenaga surya dan angin terus menurun seiring dengan kemajuan teknologi sehingga meningkatkan efisiensi. Oleh sebab itu, pemerintah perlu merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target angka yang lebih ambisius.
Seperti diketahui, negara Asean lain seperti Thailand, Filipina dan Vietnam telah menunjukkan bahwa meningkatkan kapasitas terpasang EBT 5-20x dalam 5 tahun bisa dilakukan.
Menurutnya, ekonomi tidak bisa berjalan tanpa daya dukung alam. People, profit, planet harus berjalan bersama. Mengacu pada hal itu, pengembangan bisnis pariwisata yang merusak ekosistem seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur perlu mendapatkan perhatian serius. Pariwisata harus bersandar pada nilai lokal dengan mengacu pada sosial budaya setempat, sehingga akan menghasilkan nilai ekonomi yang berkelanjutan. (*)
Editor: Rezkiana Np