Spin-off yang dipaksakan akan menimbulkan komplikasi. Jalan tengahnya, spin-off dapat dilakukan jika market share UUS sudah mencapai 50% dari induknya. Inilah catatan penting untuk RUU P2SK di jalur syariah.
Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
MENGHINDARI bahaya jauh lebih baik dibandingkan mengejar manfaat. Mengejar market share bukan lagi memaksa Unit Usaha Syariah (UUS) untuk dipaksa spin-off. Biarkanlah UUS membesar sejalan kondisi permintaan pasar. Jangan dipaksa-paksa dengan pendekatan politik tanpa melihat fakta di lapangan.
Kalimat itu cocok untuk menggambarkan kondisi menjelang dead line spin off unit usaha syariah di akhir tahun 2023. Jangan memaksa menjemput potensi. Tapi, tak menginjak bumi – yang biasa digambarkan konsultan. Bisnis bank adalah dunia realitas penuh modal dan regulasi. Jangan dipaksa-paksa. Biarkan perbankan syariah “matang pohon”, bukan “dieram”.
Bahwa market share perbankan syariah yang sekarang masih 6,7% itu perlu ditingkatkan, tapi spin-off tanpa memperhitungkan besarannya aset — ini bukanlah langkah terbaik meningkatkan market share di saat sekarang.
Tidak bisa main “pokoknya”, padahal tantangan ke depan bukan soal spin-off. Tapi, bagaimana membuat perbankan syariah berkualitas. Kokoh. Untuk apa punya bank syariah kecil-kecil yang duafa modal, dan sudah tentu “miskin” infrastruktur teknologi serta bisa jadi soal SDM.
Nah, dari pada memaksakan diri bisa jadi akan menemukan banyak bahaya, sebab ada banyak hal penting yang menggambarkan unit usaha syariah jauh lebih baik dibandingkan memaksa UUS menjadi Bank Usaha Syariah (BUS). Di Negara-negara yang perbankan syariahnya lebih besar dari Indonesia, masih tetap memperbolehkan usaha syariah.
Untuk itu, Rencana Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) – yang menyangkut syariah menjadi sangat penting. Sebab, dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2008 pasal 68 tentang Perbankan Syariah menyebutkan:
”Dalam hal umum konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai 50% dari total aset bank induknya, atau lima belas tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka bank konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS menjadi bank syariah,”. Lalu, dalam PBI 11/10/PBI/2009 ditegaskan, bank konvensional yang tidak melakukan spin-off sesuai dengan yang ditetapkan, akan dikenakan pencabutan unit usaha syariah.
Berat. Setelah 14 tahun menuju 15 tahun ternyata UUS jauh lebih menguntungkan, lebih baik dari banyak sisi. Banyak hal mengapa UUS lebih bisa memberi jalan baik dalam meningkatkan kualitas perbankan syariah. (Lihat: Spin-Off Bank Syariah Tak Selalu Jalan Terbaik/Infobank Edisi Maret 2022).
Mengapa UUS Lebih Baik
Menurut catatan Infobank Institute ada beberapa hal UUS lebih menguntungkan. Satu, daya tahan modal lebih kuat dengan konsolidasi bank induknya. Modal menjadi penting untuk menghadapi gejolak perbankan. Langkah spin-off hanya menghasilkan bank-bank dengan modal cekak. Saat ini ada 21 UUS yang ukurannya kecil-kecil. Jelas ini berlawanan dengan konsolidasi perbankan dengan Kelompok Bank Modal Inti (KBMI) yang paling kecil Rp6 triliun.
Dua, sisi model binis dapat memberikan kapasitas pelayanan yang lebih luas dengan produk beragam kepada masyarakat. Bayangkan. Jika UUS menjadi BUS tentu terbatas dan tentu perlu investment grade yang berbeda dari sebelumnya.
Tiga, servive level dan pricing model UUS yang setara dengan induk, sehingga nasabah tetap merasakan customer experience dengan standar yang sama. Spin-off akan berdampak pada service level dan pricing model. Dipastikan pricing akan lebih mahhal karena aspek sumber dana.
Empat, pemanfaatan jaringan yang luas dari induknya tentu akan mengakselerasi edukasi dan literasi keuanagn syariah dengan dukungan dan coverage dari bank induknya. Misalnya, program promosi dan branding tentu lebih masih dengan induknya. Lebih penting dari itu, UUS akan lebih bisa mengedukasi nasabah rasional yang dapat mempercepat literasi dan edukasi perbankan syariah.
Lima, soal likuiditas tentu UUS yang ada pada industri saat ini dapat memperoleh likuiditas dari induknya. Bahkan, dapat menjadi counterparty dari BUS — hingga KBMI 3. Sedangkan pasca spin-off mayoritas BUS hasil spin-off akan tergolong kepada KBMI 1 (modal di bawaj Rp 6 triliun), tentu ini dan akan kesulitan dalam mendapatkan pendanaan (likuiditas).
Enam, dengan dukungan dari bank induk, UUS terbukti mempercepat pertumbuhan UUS, terutama pada aspek infrastruktur IT, Sumber Daya Manusia (SDM), jaringan cabang dan ATM dan kealian bank induk. Sudah tentu ini akan lebih berat jika dipaksakan menjadi BUS.
Tujuh, dari perspektif pemegang saham untuk apa menanamkan modalnya di dua entitas terpisah pada industri yang sama. Apalagi, investor selalu melihat size of business dimana BUS hasil spin-off kecil-kecil.
Delapan, dari sisi bisnis atau pencapaian kinerja keuangan. Justru, UUS selama lima tahun terakahir ini mengasilkan kualitas pertumbuhan dan rasio-rasio keuangan yang lebih baik. Tentu tidak mudah mempertahankan kualitas kinerja ini.
Sembilan, spin-off bertolak belakang dengan konsolidasi yang digaungkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat modal dan bukan menambah jumlah bank. Hal ini akan menimnbulkan masalah pengawasan tersendiri di tengah perubahan pasar perbankan dan tantangan yang lebih berat akibat perubahan teknologi.
Sepuluh, Best Practice Benchmarks Negara dengan pangsa pasar perbankan syariah tinggi masih memperbolehkan BUS untuk tetap menjalankan UUS-nya (windows), tanpa adanya kewajiban Spin-Off. Faktanya, kinerja dan pangsa pasar industri keuangan syariahnya dapat terus tumbuh pesat dan sehat.
RUU P2SK Soal Spin-Off Memberi Jalan Terbaik
Dampak Pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi global menempatkan bank-bank harus menjaga kuda-kudanya. Bukan justru membuat kuda-kuda makin “ringkih” karena spin-off dari 21 UUS syariah yang ukuran modalnya “duafa”
Jadi jika sasarannya hanya meningkatkan market share, boleh jadi peningkatan jumlah bank syariah dari spin-off bukanlah salah satu jalan. Tapi, seperti dalam catatan Infobank Institute di atas, justru UUS mampu meningkatkan market share lebih cepat (14%) dari pada BUS dengan induknya (5%).
Pendek kata, unit usaha syariah jauh lebih cepat tumbuh dan berkualitas dibandingkan dengan bank syariah. Angka-angka ini menunjukan, perubahan menjadi bank syariah tidak otomatis meningkatkan kinerja. Jadi, spin-off bukanlah hal yang didiamkan saat ini.
Bahkan, seluruhh pelaku usaha syariah yang tergabung di Asbisindo (Asosiasi Bank Syariah Indonesia) juga sependapat jika spin-off dilakukan pada tahun 2023 akan berdampak pada counter productive dari sasaran utama-nya – yaitu pertumbuhan dan pengutan perbankan syariah di Indonesia.
Untuk itu, para pelaku perbankan syariah memberi garis tebal tentang spin-off ini. Dalam RUU P2SK yang sedang digodok, terutama tentang pasal spin-off disebutkan;”Dalam hal bank umum konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total aset bank induknya, bank umum konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah,”.
Spin-off tetap dilakukan, tapi tak tergantung dead line tahun 2023 seperti dalam UU Np21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal yang ditegaskan oleh RUU P2SK ini memberi dukungan terhadap perbankan syariah untuk tumbuh secara normal sesuai dengan kondisi pasar. Dan, tentu menjawab sepuluh hal yang digambarkan Infobank Institute sejak awal.
Sudah Benar! spin-off bank syariah dilakukan jika aset syariahnya paling sedikit 50% dari Induknya. Untuk apa mempunyai banyak bank jika bahaya ke depan lebih berat. Bisnis bank termasuk bank syariah juga harus didukung kekuatan modal.
RUU P2SK soal pasal spin-off, justru mendorong, dan menguatkan UUS untuk tumbuh dengan dukungan induknya. Hal itu merupakan jalan terbaik dan lebar agar perbankan syariah tumbuh lebih cepat, dan berkualitas serta rasional. (*)