Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
RUPIAH terus terbakar. Sepanjang libur Lebaran kemarin, rupiah bikin debar-debar. Loyonya rupiah ini membuat banyak pertanyaan. Apakah loyonya rupiah terhadap dolar AS ini temporer, atau berjangka menengah? Banyak hal. Ada yang menyebut karena tekanan fiskal dan silaturahmi Sri Mulyani Indrawati ke Megawati Soekarnoputri. Ada pula yang berpendapat, karena faktor geopolitik Perang Israel-Palestina, dan terakhir serangan balasan Iran ke Israel.
Banyak spekulasi yang berkembang. Namun, faktanya bahwa dolar AS perkasa bukan hanya terhadap rupiah, tapi juga terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal yang sama juga terjadi terhadap yen. Hampir seluruh mata uang global. Sejumlah ekonom menyebut, hal ini karena masih spekulasi kapan bank sentral AS menurunkan suku bunga, dan inflasi di AS yang masih relatif tinggi, tidak sesuai dengan konsensus.
Nilai tukar rupiah di perdagangan terakhir (5/4/2024) sebenarnya (sebelum libur Lebaran) masih berada pada level Rp15.548/US$. Namun, data Google Finance, yang memonitor perdagangan mata uang global, rupiah sudah bertengger pada angka Rp16.065/US$ dari sebelumnya Rp16.117/US$. Dan, pada perdagangan pertama setelah libur panjang Lebaran rupiah dibuka di level Rp16.035/US$. Sempat merosot hingga Rp16.110, yang menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang paling “loyo” di Asia dengan depresiasi 1,68% dalam beberapa jam perdagangan.
Ada banyak sebab rupiah perlahan “loyo” terhadap dolar AS. Dunia sedang tidak baik-baik saja. Menurut Infobank Institute, ada enam hal yang menjadi tantangan. Satu, ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. International Monetary Fund (IMF) yang sebelumnya memperkirakan ekonomi global tumbuh 3%, namun tahun 2024 diperkirakan melemah menjadi 2,8%.
Dua, lonjakan inflasi di beberapa negara di dunia yang belum mereda secara aman. Inflasi di AS (Maret 2024) sedikit meningkat dari periode sebelumnya menjadi 3,2%. Tiga, kenaikan suku bunga yang agresif di negara-negara maju, terutama AS, yang masih bertahan selama lima bulan berturut-turut pada kisaran 5,25%-5,50%, dan Eropa untuk meredam inflasi. Belakangan, Jepang juga mengerek suku bunganya.
Baca juga: Rupiah Anjlok di Atas Rp16.000 per Dolar AS, Ini yang Bakal Dilakukan BI
Empat, masih tingginya suku bunga The Fed ini otomatis meningkatkan indeks dolar AS. Imbasnya, mata uang dunia tergerus akibat suku bunga yang tinggi. Lima, risiko persepsi investor. Situasi yang tidak pasti (kapan The Fed menurunkan suku bunga – yang bisa jadi September 2024) mendorong investor menarik dananya dan kembali ke “pangkuan” dolar AS.
Enam, faktor dalam negeri, terutama masa depan fiskal atawa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat program pemerintah, seperti biaya makan siang gratis (Rp450 triliun), memberi sentimen negatif pasar obligasi. Hal itu membuat investor untuk sementara “mengamankan” uangnya dengan menubruk dolar AS. Tujuh, tentu tentang geopolitik, pasca perang Ukraina-Rusia, kini pecah konflik Israel-Iran. Jika ini berlanjut maka akan mengubah rantai pasok, terutama minyak, ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Semua itu membuat rupiah tidak baik-baik saja. Jangka menengah-pendek, rupiah masih akan berjuang melawan takdirnya yang melemah. Namun demikian, kuatnya dolar AS akan memberi kenaikan cadangan devisa – karena memang kurs – dan pendapatan hasil ekspor dalam jumlah yang lebih besar. Namun, jika harga minyak tembus di atas US$100 per barel tentu akan “mencekik” APBN karena subsidi dan kompensasi BBM dan gas yang membengkak.
Rupiah yang loyo akan berdampak pada bank-bank. Debitur yang orientasi impor akan mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan bank-bank sendiri yang portofolio kredit dolarnya tak melebihi 2% dari jumlah kredit yang diberikan. Efek berantai dari debitur ini akan berdampak risiko lebih besar menjadi kredit bermasalah. Debitur menjadikan pelemahan rupiah sebagai alasan untuk tidak membayar pinjamannya.
Di sisi pasar modal tentu akan tertekan karena adanya capital outflow – banyak pemilik dana lari menubruk dolar AS yang dinilai lebih aman. Saham sektor perbankan (bank-bank besar) bisa jadi akan tetap menjadi penggerak bursa kembali. Bursa saham untuk sementara akan tertekan.
Posisi nilai tukar rupiah hari ini sudah seperti posisi ketika krisis perbankan tahun 1998 lalu. Pertanyaannya, apakah Indonesia akan masuk krisis? Tentu tidak otomatis akan krisis. Alasannya tak lain karena ukuran dan dimensinya berbeda-beda. Waktu itu didorong oleh pinjaman luar negeri, baik swasta maupun negara, yang tak terkendali. Sedangkan saat ini sektor perbankan sudah relatif lebih kuat.
Dan, golongan yang paling menderita tak lain adalah masyarakat miskin perkotaan akibat meningkatnya harga bahan pangan. Harga tahu-tempe, makanan berbahan tepung terigu termasuk mi instan dan beras, akan meningkat. Jangan tanya harga barang elektronik. Inflasi bisa menjadi momok yang ditakuti.
Tak hanya itu. Tingkat kemiskinan dan orang hampir miskin juga akan meningkat. Mereka harus membayar lebih mahal akibat nilai tukar rupiah yang merosot. Hal ini tentu juga akan menjadi beban APBN ketika harus juga memberi bantuan sosial (bansos). Risiko penerimaan APBN juga menjadi perhatian.
Kebijakan suku bunga tinggi tampaknya akan tetap diberlakukan oleh Bank Indonesia (BI). Itu artinya pula bank-bank harus tetap membeli dana di pasar lebih mahal untuk mengimbangi ekspansi kredit dari bank-bank. Jangan sampai pula para pemilik uang ikut ramai-ramai menukarkan simpanan rupiahnya dalam bentuk dolar AS.
Boleh jadi – komunikasi dari BI menjadi sangat penting. Sinyal yang diberikan BI harus tetap berada di pasar dengan intervensinya. Selain itu, BI perlu melakukan persuasi kepada para pemilik dolar besar untuk menukarkan dolar AS dengan rupiah. Jangan sampai uang hasil ekspor seluruhnya diparkir di Singapura, tapi ditukar rupiah di bank-bank dalam negeri.
Baca juga: Bos BI Ramal Dolar AS Bakal Melemah di Semester II 2024
Tak hanya rupiah yang “loyo” terhadap dolar AS. Hampir seluruh mata uang dunia terpuruk oleh dolar AS. Dan, kita berharap, perang Israel vs Iran tak berlangsung lama. Sebab, hal itu akan membuat rantai pasok, terutama minyak dan bahan pangan, terganggu dan akan melambungkan harga minyak.
Semua itu akan membakar APBN yang “tertekan” subsidi BBM, dan akan makin berat ketika harus menyediakan anggaran makan gratis sebesar Rp450 triliun. Dan, silaturahmi Sri Mulyani ke Megawati bisa “dimaknai” lain, terutama soal tekanan fiskal ini. Politik selalu menerjemahkan simbol-simbol.
Naik-turun rupiah hal yang biasa. Namun, fluktuasi rupiah yang liar akan menyulitkan kantong kita. Hati-hati, ketat likuiditas akan makin panjang. Jadi, tidak perlu panik. Sambil berdoa Perang Israel-Iran hanya sampai di sini dan tak berlanjut. BI harus ada di pasar. Rupiah perlu “pil viagra” dosis rendah berupa intervensi dari BI karena sumbernya ada pada dolar AS.
Percayalah, perekonomian Indonesia selalu disayang Tuhan. Rupiah yang loyo kali ini tak akan membakar perekonomian Indonesia, karena kita masih punya sumber alam yang diciptakan oleh Tuhan.