Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, ruang pengetatan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) melalui jalur suku bunga semakin terbatas. Hal ini seiring dengan langkah Bank Sentral yang sudah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 125 basis points (bps) diperiode Mei hingga Agustus 2018.
Kendati BI sudah naikkan suku bunganya sebanyak 125 bps menjadi 5,50 persen, namun saat ini kondisi nilai tukar rupiah masih melemah. Di mana pada perdagangan hari ini (23/8) rupiah dibuka melemah 46 poin atau 0,32 persen ke level Rp14.620 per dolar AS, dan ditutup melemah 64 poin atau 0,44 persen ke level Rp14.638 per dolar AS.
“Ruang pengetatan moneter BI semakin terbatas. Kalau terus-terusan naikkan bunga acuan efek ke sektor riilnya kurang bagus,” ujar Peneliti Indef Bhima Yudistira saat dihubungi Infobank, di Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2018.
Sementara di sisi lain, kata dia, laju inflasi yang masih rendah, juga membuat ruang pengetatan moneter BI semakin terbatas. Seharusnya, kenaikan suku bunga acuan BI dilakukan sejalan dengan kondisi laju inflasi itu sendiri, sehingga tidak berdampak pada perekonomian. Kenaikan bunga acuan tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, selain BI yang selama ini telah berupaya untuk menjaga nilai tukar rupiah dan laju inflasi, Pemerintah dalam hal ini juga seharusnya bisa berperan dengan menekan defisit transaksi berjalan yang saat ini sudah mencapai US$8 miliar atau 3 persen dari PDB di kuartal II-2018, lebih tinggi dibanding kuartal II 2017 yang hanya 1,96 persen dari PDB.
“Selain BI yang seharusnya kerja keras adalah pemerintah yaitu dengan tekan defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan. Sejauh ini soal pengendalian impor baru sebatas wacana regulasi belum keluar. Itu langkah yang terlambat dan memperburuk kondisi,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah pernah mengatakan, bahwa BI masih terus melakukan intervensi sebagai bentuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Adapun intervensi yang akan dilakukan BI yakni melalui cadangan devisa yang saat ini tercatat sebesar US$118,3 miliar per Juli 2018.
“Iya intervensi. Intervensi itu untuk menjaga supaya tidak terjadi lonjakan-lonjakan. Jadi, kalau misalnya melemah, melemahnya pelan, perlahan, secara gradual, jangan tiba-tiba melonjak tajam sehingga orang panik, seperti itu,” paparnya.
Namun demikian, dirinya tidak bisa menyebutkan berapa besaran intervensi yang selama ini sudah dikeluarkan oleh Bank Sentral untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Kendati begitu, lanjut Nanang, Bank Sentral memastikan bahwa posisi cadangan devisa yang saat ini sebesar US$118,3 miliar per Juli 2018 tersebut masih tergolong cukup aman.
Cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2018 yang mencapai US$118,3 miliar itu tergerus US$1,5 miliar bila dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2018 yang sebesar US$119,8 miliar. Penurunan cadangan devisa terutama dipengaruhi oleh adanya stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Posisi cadangan devisa tersebut masih setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Cadangan devisa itu mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan. (*)