Jakarta – Gerakan global untuk memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel mendapatkan dukungan luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah merespons dengan mengeluarkan Fatwa MUI No. 83 tentang Hukum Dukungan untuk perjuangan Palestina ini.
Sejalan dengan dukungan tersebut, baru-baru ini Populix merilis hasil studi berjudul “Understanding Public Sentiment on the Boycotts Movement Amid the Palestine-Israel Dispute”.
Riset Populix tersebut menemukan bahwa sebanyak 65 persen responden muslim menyatakan kepatuhan mereka terhadap Fatwa MUI No. 83 tentang Hukum Dukungan.
Head of Social Research Populix Vivi Zabkie mengatakan, keberadaan fatwa MUI ini sudah mencapai tingkat kesadaran yang tinggi hingga mencapai 94 persen di kalangan masyarakat Indonesia, baik di kalangan masyarakat Muslim maupun non-Muslim.
“Seruan boikot ini sangat kuat, sehingga awareness atas fatwa ini tak hanya dari umat Muslim, tapi juga non-Muslim. Bahkan, responden non-Muslim pun menyatakan dukungan mereka atas boikot. Hal ini mungkin terjadi karena isu ini adalah isu kemanusiaan yang tidak mengenal sekat agama,” jelasnya dikutip 21 Februari 2024.
Baca juga: Ramai Gerakan Boikot Produk Israel, Segini Perkiraan Kerugian Negara Yahudi
Dampak Boikot Produk Afiliasi Israel
Di lain sisi kata Vivi, dampak dari gerakan boikot ini sudah mulai dirasakan oleh perusahaan dan juga merek yang dikaitkan mempunyai afiliasi dengan Israel.
Pada kuartal-IV 2023, McDonald’s menghadapi penurunan total pendapatan secara global sebesar 4 persen jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Salah satu waralaba restoran terbesar di dunia ini menjadi salah satu target dari gerakan boikot.
Menilik lebih spesifik pada pasar Indonesia, penurunan penjualan cukup signifikan terjadi pada merek-merek yang berada di bawah naungan Unilever.
Pada kuartal-IV 2023, pendapatan Unilever tercatat turun hingga 20 persen jika dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain pada sisi pendapatan, terjadi juga penurunan pada harga saham yang dialami perusahaan pemegang merek yang terkena dampak boikot seperti Starbucks yang turun hingga 12 persen pasca gerakan ini.
Meskipun sebagian besar responden Muslim menyatakan setuju dengan fatwa dan berkomitmen untuk patuh, fatwa ini tapi tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia.
Baca jugaDaftar 27 Produk Pro Israel yang Diimpor Indonesia
Hal ini tercermin dari 26 persen responden yang masih ragu-ragu terkait kepatuhan terhadap fatwa tersebut. Responden yang masih ragu-ragu mengungkapkan ketidakpastian mereka tentang implikasi praktis dari boikot dan merasa kurang terinformasi untuk membuat keputusan saat ini.
Sementara itu, terdapat juga 9 persen responden yang menentang fatwa. Responden menunjukan penolakan mereka karena kurang yakin terhadap efektivitas boikot untuk mengatasi isu sosial dan politik, serta mengekspresikan keinginan untuk memiliki otonomi dalam pemilihan produk.
Dinamika ini mencerminkan pandangan masyarakat terhadap isu Palestina-Israel dan menunjukkan bahwa ada berbagai pandangan yang perlu dipahami lebih lanjut. (*)
Editor: Galih Pratama