Jakarta – Gubernur Bank Negara Malaysia (BNM), Tan Sri Nor Shamsiah Mohd Yunus, telah mencanangkan strategi untuk menghadapi pelemahan nilai tukar ringgit terhadap dolar AS belum lama ini, dimana salah satunya adalah memastikan korporasi-korporasi di Malaysia untuk membawa pulang mata uang dolar yang dihasilkan dari hasil ekspor, dan mengkonversinya ke dalam ringgit.
Seperti dikutip dari The Malaysian Reserve, Kamis, 1 Desember 2022, dengan terdepresiasinya nilai ringgit terhadap dolar AS, dan prediksi bahwa depresiasi itu akan bertahan dalam jangka panjang, korporasi-korporasi bisa tergoda untuk menahan pendapatan dari eskpor di luar negeri sedikit lebih lama daripada seharusnya.
Sementara pihak bank sentral Malaysia sendiri sebenarnya juga sudah punya peraturan khusus terkait hal ini. Kebijakan devisa yang telah diperbaharui pada 1 Juni 2022 menyatakan, eksportir bisa menerima pendapatan dari barang ekspornya dalam mata uang ringgit maupun mata uang asing.
“Eksportir wajib memulangkan pendapatan ekspornya ke Malaysia dengan nilai penuh dalam waktu enam bulan sejak tanggal pengiriman. Pemulangan pendapatan hingga 24 bulan hanya diizinkan bila terdapat faktor tertentu yang berada di luar kendali eksportir dan kondisi lainnya yang diizinkan,” begitu tulis salah satu poin regulasi yang dikutip dari The Malaysian Reserve.
Regulasi itu juga menyatakan bahwa eksportir bisa melakukan perencanaan offsetting, netting-off, maupun writing-off kepada pendapatan hasil ekspor untuk sejumlah alasan saja. Bank sentral Malaysia atau BNM tentunya harus cermat dalam menerapkan kebijakan tersebut. Pasalnya, korporasi akan diuntungkan bila menyimpan pendapatan hasil ekspor di luar negeri, dan ada banyak cara untuk melakukan hal itu.
Penerapan regulasi ini sebenarnya bukan yang pertama kali, Bank Negara Malaysia tercatat pernah menerapkan kebijakan tersebut di penghujung tahun 2016, dimana BNM mendesak korporasi-korporasi untuk mengkonversi uang dolar AS hasil pendapatan ekspor mereka ke dalam mata uang ringgit hingga 75% dari total pendapatan ekspor yang mereka terima dari satu importir.
“Sebelum peristiwa di tahun 2016 itu, tingkat konversi tercatat kurang dari 5%,” jelas seorang trader mata uang senior.
Seiring berjalannya waktu, penerapan regulasi tersebut dilonggarkan, karena alasan menjaga hubungan baik dengan para pengusaha dan kondisi pasar yang telah berubah. Sekarang, para korporasi pun bisa menahan hasil pendapatan ekspor mereka di luar negeri hingga 6 bulan atau lebih. Tahun lalu, korporasi bahkan diizinkan untuk menyimpan pendapatan hasil ekspor di dalam negeri tanpa mengkonversinya ke ringgit. (*) Steven Widjaja