RI Harus Proaktif Sikapi Sengketa Laut Cina Selatan

RI Harus Proaktif Sikapi Sengketa Laut Cina Selatan

Jakarta–Andri W Kusuma, Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia mengatakan, Indonesia perlu mengambil peranan yang lebih aktif dalam konflik Laut Cina Selatan antara Cina dengan negara-negara ASEAN.

Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia perlu meningkatkan posisinya menjadi negara yang memiliki kepentingan. Hal ini dinilai penting untuk menjaga perdamaian kawasan dan juga meredakan ketegangan di kawasan.

“Apapun hasil putusan Arbiterase antara Filipina dan Cina, Indonesia wajib hukumnya sebagai negara terbesar di kawasan untuk mengambil peran lebih aktif yakni paling tidak merubah sikap politik luar negeri kita mengenai Laut Cina Selatan.  Kita tidak perlu menyatakan diri kita sebagai claimant state, akan tetapi cukup meningkatkan sedikit menjadi negara yang memiliki kepentingan. Kepentingan dalam hal menjaga kedaulatan, kepentingan dalam hal menjaga perdamaian kawasan dan juga kepentingan untuk meredakan ketegangan di kawasan,” kata Andri dalam keterangan tertulis yang diterima Infobank, Rabu, 13 Juli 2016.

Menurutnya Cina telah mengikuti strategi Israel dalam memecah kawasan Timur Tengah sehingga memuluskan misinya menguasai Palestina. Israel menurutnya jelas-jelas telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM. Namun, selain karena faktor kekuatan Israel baik dari segi ekonomi maupun militer, Israel tetap melakukan aksinya tersebut karena tidak satu katanya negara-negara kawasan timur tengah dalam membela palestina dan mendorong Israel untuk mematuhi resolusi DK PBB.

Sementara Cina mengikuti cara Israel dengan memecah sentralitas ASEAN melalui Laos dan Kamboja yang selalu berbeda pendapat dalam hal sengketa Laut Cina Selatan dengan negara ASEAN lain yang bersengketa. China tidak hanya berhasil melalui propaganda militer namun memecah sentralitas ASEAN melalui Laos dan Kamboja. Hal ini dilakukan Cina karena secara riil Kamboja dan Laos bukan negara maritim dan investasi Cina di dua negara tersebut cukup besar. Ditambah lagi, posisi ketua ASEAN saat ini di tangan Laos. Selama sentralitas ASEAN terjaga, Andri yakin Cina akan berpikir ulang untuk melaksanakan agresinya di kawasan. Kedaulatan di kawasan hanya bisa tercapai jika ASEAN kembali memegang sentralitasnya.

“Kita tahu ASEAN dalam mengambil keputusannya memakai prinsip sentralitas dan ini merupakan kekuatan ASEAN selama ini, akan tetapi secara taktis dapat dipudarkan oleh Cina melalui Laos dan Kamboja,” kata Andri.

Selain meminta Pemerintah meningkatkan peranannya, Andri juga meminta Pemerintah Indonesia untuk mendorong negara-negara kawasan yang bersengketa agar menyelesaikan secara cepat dan damai sengketa dengan Cina.

“Salah salah satunya dengan menggunakan putusan arbiterase sebagai salah satu referensinya agar terjadi kebiasan di kawasan yang dapat dijadikan hukum untuk kawasan,” tambah Andri.

Seperti diketahui, Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag memutuskan memenangkan Filipina atas sengketa Laut Cina Selatan. Keputusan yang diambil pada Selasa 12 Juli 2016 itu memutuskan bahwa tidak ada dasar hukum bagi Cina untuk mengklaim hak sejarah hingga kekayaan alam di area nine-dash line atau wilayah imajiner yang dihubungkan 9 titik.

Sementara Cina sendiri menolak keputusan tersebut. Cina,yang mengklaim kepemilikan 90% wilayah perairan di Laut Cina Selatan, menyatakan tidak mengakui Mahkamah Arbitrase PBB dan menolak ikut ambil bagian. Bahkan, Cina berupaya mengajak sejumlah negara untuk menyokong pandangannya bahwa putusan mahkamah di Den Haag seharusnya ditolak. Cina menyatakan sekitar 60 negara telah mendukung posisi tersebut, namun hanya beberapa yang menyuarakannya secara umum. (*)

 

 

Editor: Paulus Yoga

Related Posts

News Update

Top News