Jakarta – Sebagai negara yang berada di tengah garis khatulistiwa, Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Berbagai jenis tanaman obat pun tumbuh subur di Tanah Air.
Direktur Utama Phapros, Hadi Kardoko menyampaikan, berdasarkan data dari LIPI pada tahun 2020, Indonesia merupakan negara dengan megabiodiversitas terbesar keempat di dunia yang memiliki lebih dari 29.000 jenis tanaman, di mana 2.484 diantaranya adalah tanaman obat.
“Potensi pengembangan obat herbal di Indonesia didukung dengan perilaku masyarakat kita yang sebagian besar lebih memilih pengobatan secara tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang bisa diperoleh di alam sekitar daripada menggunakan obat kimia,” ujarnya dikutip Kamis, 18 November 2021.
Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia ini juga sudah dimanfaatkan industri farmasi untuk membuat obat herbal fitofarmaka atau yang kini juga dikenal dengan sebutan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI), yakni obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia), bahan baku dan produk jadinya sudah distandarisasi.
Salah satu industri yang sudah memanfaatkan obat bahan alam tersebut adalah PT Phapros, Tbk. Emiten berkode saham PEHA ini memiliki 2 dari 23 produk obat herbal fitofarmaka yang memiliki izin edar dari BPOM RI.
“Kami memiliki Tensigard yang diformulasikan sebagai anti hipertensi dengan komposisi ekstrak seledri (Apium graveolens) 75 persen dan ekstrak kumis kucing (Orthosiphon stamineus) 25 persen. Selain itu, ada pula X-Gra yang berfungsi meningkatkan stamina dan kesegaran tubuh pada pria, memperbaiki kualitas sperma serta mengatasi masalah ejakulasi dini. Terbuat dari ekstrak Ganoderma lucidum (jamur Ling Zhi), ekstrak Eurycomae radix, ekstrak ginseng, ekstrak Retrofracti fructus (lada hitam) dan Royal jelly,” jelas Hadi.
Pengembangan obat herbal fitofarmaka masih sangat sedikit di Indonesia, hal ini tak lepas dari berbagai tantangan yang ada. Beberapa tantangan tersebut diantaranya adalah sumber daya alam tumbuhan yang belum dikelola secara optimal, biaya riset yang besar dan proses riset yang lama, dan harga jual produk herbal yang seringkali lebih mahal dari produk kimia.
“Namun, seiring dengan adanya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan dan dibentuknya satgas Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka oleh BPOM, hal ini diharapkan nantinya pengembangan obat fitofarmaka di Indonesia bisa kian terarah dan dapat dilakukan secara massif,” tutup Hadi. (*)