Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 hingga tahun 2025. Hal ini diduga akibat Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah UMKM yang jeblok pasca restrukturisasi dihentikan pada Maret 2024 lalu.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL gross UMKM di April 2024 tercatat sebesar 4,26 persen, melonjak tinggi dibandingkan Maret 2024 sebesar 3,98 persen.
Adapun peningkatan NPL gross UMKM utamanya didorong oleh segmen kredit kecil dan mikro yang naik menjadi 3,89 persen di April 2024, dibandingkan bulan sebelumnya 3,65 persen.
Kemudian, outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 pada April 2024 sebesar Rp207,4 triliun, sedikit menurun dari bulan sebelumnya sebesar Rp228,03 triliun, yang mana merupakan batas akhir dari restrukturisasi kredit.
Bila dirinci, merujuk pada laporan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK mencatat pada tahun 2020, yakni pada tahun awal implementasi kebijakan restrukturisasi Covid-19 dimulai, total baki debet atau kredit lancar UMKM Rp1.088,33 triliun, dengan nilai kredit macet atau NPL berada di level 3,96 persen atau setara Rp43,11 triliun.
Selanjutnya, pada 2021, total kredit lancar UMKM tercatat sebesar Rp1.221,01 triliun. Adapun NPL mengalami penurunan ke level 3,82 persen atau setara Rp46,75 triliun.
Kemudian, pada 2022 kredit lancar UMKM Rp1.362,81 triliun. Tren NPL kembali menurun di level 3,41 persen atau setara Rp46,03 triliun.
Per Desember 2023, NPL UMKM mulai merangkak naik ke level 3,71 persen atau setara Rp55,85 triliun. Adapun kredit lancar UMKM sebesar Rp1.457,13 triliun.
Baca juga: Soal Perpanjangan Restrukturisasi Kredit Covid-19, CIMB Niaga Bilang Begini
Setelah, kebijakan restrukturisasi kredit resmi dihentikan pada 31 Maret 2024, tercatat pada April 2024 nilai kredit macet UMKM meningkat dibandingkan dengan Maret 2024.
Per April 2024, tercatat kredit macet sebesar Rp62,22 triliun, naik sekitar Rp3,77 triliun atau Rp58,45 triliun pada Maret 2024 yang menjadi bulan terakhir kebijakan relaksasi tersebut.
Lalu, apakah usulan Presiden Jokowi untuk memperpanjang kredit restrukturisasi disebabkan NPL UMKM yang melonjak setelah dihentikan?
OJK merespons. Sebagai regulator, OJK mengaku akan mendalami usulan dari Presiden Jokowi. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengklaim akan mengkaji aspek dari rencana perpanjangan relaksasi tersebut.
Pasalnya, dalam mencabut kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19, OJK telah memperhitungkan kecukupan modal, pencadangan (CKPN) dan likuiditas perbankan dalam menyalurkan kredit.
“Kalau kita lihat juga pada sampai waktu terakhir ini, pertumbuhan kredit di tahun 2024 ini juga malah lebih tinggi dari tahun lalu. Jadi kalau dari segi itu sebenarnya yang terjadi maupun pada saat akhir Maret tempo hari maupun setelahnya, tidak ada yang anomali lah,” kata Mahendra kepada wartawan di Kompleks Kemenkeu, Selasa, 25 Juni 2024.
Di sisi lain, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani mengkhawatirkan bahwa perpanjangan kebijakan ini bakal menimbukan moral hazard.
Aviliani menjelaskan bahwa restrukturisasi kredit diberikan bukan untuk semua debitur, namun diberikan kepada sektor yang masih memiliki masalah dalam pembayaran kredit dan prospek yang menguntungkan.
Baca juga: Program Restrukturisasi Kredit Diperpanjang di Tengah Laba dan Tantiem Jumbo, Awas Moral Hazard!
“Tapi jangan diberlakukan untuk semua (sektor yang direstrukturisasi). Banyak orang moral hazard. Jangan sampai, oh itu karena Pak Jokowi semua orang minta (restrukturisasi). Nah bank-nya yang kasihan. Orangnya nggak perlu direstrukturisasi lagi,” ujar Aviliani kepada Wartawan di Kompleks Kementerian Keuangan, Selasa 25 Juni 2024.
Selain itu, kata Aviliani, debitur yang menerima stimulus restrukturisasi akan sulit untuk mengajukan kredit baru ke bank lain. Sebab, debitur tersebut dinilai memiliki catatan merah perbankan.
“Karena kalau orang yang sudah restrukturisasi, dia mau pindah bank tuh nggak diterima oleh bank lain. Karena nanti dianggap oleh si pengawas OJK-nya adalah, kamu sudah restrukturisasi, kok pindah ke bank lain?,” imbuhnya. (*)
Editor: Galih Pratama