Namun demikian, jika isi ulang tidak diatur oleh BI, bukan berarti bank-bank akan lebih seenaknya membuat kebijakan sendiri, misalnya isi ulang uang tunai dikenakan biaya yang jauh lebih besar demi dalih fee based income. Bank-bank akan menerima rejeki nomplok dari PBI baru ini — yang setahunnya setidaknya akan meraup Rp2 triliun plus pendapatan bunga dari dana pemilik uang elektonik yg terkumpul dengan asumsi rendah Rp3,2 triliun.
Bank bank sudah mendapat keuntungan dari dana mengendap tapi mengapa masih membebankan ke masyarakat, lalu di mana keberpihakan bank-bank dan Bank Indonesia dalam mendorong masyarakat tanpa uang tunai? Prett.
Jika demikian, maka dapat disebut BI berpikir seperti bank komersial. Itulah mengapa ide keserakahan dari Bank Indonesia terkait biaya isi ulang uang elektronik untuk bank-bank ini perlu dihentikan. Tidak dikanjutkan ke meja Dewan Gubernur BI untuk menjadi PBI. Dan, sangat yakin jika diteruskan akan mendapat gugatan dari masyarakat minimal rencana PBI ini tidak mulus dan akan membuat gaduh — yang tidak disukai oleh Pemerintahan Jokowi.
Kebijakan isi ulang elektronik benar benar seperti “Joko Sembung Naik Ojek, Nggak Nyambung Jeck“. (*)