Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
“MAKA nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Siapa bilang Indonesia akan masuk jurang krisis, dan mengalami kebangkrutan. Juga, siapa yang memperkirakan Indonesia akan masuk situasi krisis. Indonesia justru diperkirakan termasuk salah satu negara yang tidak akan masuk ke lorong krisis seperti tahun 1998. Sebab, Indonesia adalah negara yang disayang Tuhan.
Ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun selalu ditolong Tuhan dengan kenaikan harga komoditas. Tanpa kekayaan alam itu – dengan rezeki “nomplok” dari Tuhan – Indonesia sebenarnya tak hebat-hebat amat. Jadi, Indonesia lebih banyak punya keberuntungan dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Sri Lanka.
Sudah sekitar sebulan, layar kaca, layar handphone, medsos, dan grup WA tak lepas bicara kasus Jenderal (Irjen) Sambo lengkap dengan “bumbu penyedapnya”. Juga, saksikan pula para pimpinan partai politik – yang duduk di pemerintahan, yang sibuk bicara koalisi, sibuk ngomong copras-capres. Tak ketinggalan, para menteri – dari parpol – yang lebih sibuk soal seremoni. Toh, ekonomi Indonesia berjalan sendiri menemukan “takdirnya”.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2022 menegaskan, bahwa kita patut bersyukur, Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global ini. Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan pandemi COVID-19.
“Termasuk lima besar negara dengan vaksinasi terbanyak di dunia, yaitu 432 juta dosis vaksin yang telah kita suntikkan. Inflasi juga berhasil dikendalikan di kisaran 4,9%. Angka ini jauh di bawah rata-rata inflasi Asia yang berada di sekitar 7%, dan jauh di bawah inflasi negara-negara maju yang berada di sekitar 9%, bahkan sampai pertengahan tahun 2022 ini APBN juga surplus Rp106 triliun,” katanya.
Ditegaskan Presiden, ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif di angka 5,44% pada kuartal kedua 2022 ini. Sementara, neraca perdagangan surplus selama 27 bulan berturut-turut, dan di semester satu 2022 ini surplusnya sekitar Rp364 triliun.
Menurut Infobank Institute, ada tiga hal besar yang membuat ekonomi Indonesia tetap tumbuh. Satu, ekonomi Indonesia bisa terus tumbuh karena intervensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berupa intervensi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang selama tiga tahun mencapai Rp1.895 triliun.
Dua, ekonomi Indonesia tidak terkait langsung dengan perdagangan dunia. Ini artinya, struktur ekonominya tidak didominasi ekspor. Lebih banyak pada belanja negara dan konsumsi masyarakat. Tiga, Indonesia disayang Tuhan, berupa berkah kenaikan harga komoditas. Sumber alam yang melimpah pemberian Tuhan ini telah menyelamatkan ekonomi Indonesia saat ini.
Meski Disayang Tuhan, tapi Tetep Eling lan Waspodo
Pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil selama pandemi COVID-19 ini tentu menjadi kado di Hari Kemerdekaan Ke-77 RI ini. Indonesia patut bersyukur, mengingat banyak negara di belahan dunia diprediksi akan senasib dengan Sri Langka – bangkrut. Tidak mampu menyediakan energi untuk kebutuhan dalam negeri merupakan salah satu faktor yang membuat Sri Lanka menjadi negara yang bangkrut. Krisis ekonomi pada akhirnya menjadi krisis politik.
Apa yang menimpa Sri Lanka tentu bisa menjadi pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia. Meski Indonesia disayang Tuhan, kewaspadaan wajib dijaga. Bukan berarti kita mengatakan bahwa Kabinet Indonesia Maju tidak bekerja. Mereka bekerja keras – berkunjung ke sana ke mari, demi menjaga ekonomi tetap tumbuh. Namun, memang, harus diakui, tidak semua menteri mampu membuat kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Menteri Negara BUMN, Menko Maritim dan Investasi (terutama soal pengadaan vaksin), Menteri Desa serta Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (dana desa dan bantuan langsung tunai), Menteri PUPR dengan proyek infrastrukturnya, juga Kementrian Koperasi dan UMKM dengan BPUM dan subsidi bunga KUR-nya, dan tentunya Gubernur Bank Indonesia (dengan burden sharing) setidaknya punya peran dalam menjaga ekonomi Indonesia agar tidak porak-poranda.
Juga, tak boleh dikesampingkan peran organisasi masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang ikut membantu percepatan kesehatan masyarakat dan pendidikan. Kedua ormas Islam terbesar itu ikut berperan penting dalam mendorong pemulihan kesehatan lewat jaringan rumah sakit dan pendidikan. Selain itu, selama 2022 ini tidak ada demo-demo yang sifatnya mengganggu aktivitas ekonomi.
Sekali lagi, ekonomi Indonesia 2022 ini sebenarnya lebih banyak karena faktor keberuntungan. Tidak seperti Singapura dan Australia yang sangat terkait dengan pasar global. Artinya, ekonomi Indonesia tidak tergantung pada ekspor. Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak tergantung pada belanja negara dan konsumsi masyarakat.
Jadi, kalaupun ekonomi global melemah, hal itu tidak akan berpengaruh besar pada ekonomi Indonesia. Sebaliknya, jika ekonomi global tumbuh, ekonomi Indonesia tumbuhnya lebih lambat. Hal ini pernah terjadi pada krisis finansial 2009/2010 – di mana kita tidak terkena imbas yang dahsyat. Sementara, Singapura terdampak lebih parah.
Namun, juga harus diakui, ekonomi Indonesia didorong oleh “intervensi” APBN. Dana PEN adalah “doping” bagi perekonomian. Menurut catatan selama tiga tahun (2020-2022), jumlah dana PEN di atas Rp1.895 triliun. Inilah “pelumas” ekonomi terbesar.
Jujur, tanpa “Tangan Tuhan” APBN dalam Teori Adam Smith juga sulit mengembalikan daya beli masyarakat. Namun demikian – hal ini juga jangan berubah dari kegagalan pasar berubah menjadi kegagalan anggaran. Untuk itu, belanja negara harus efisien di masa mendatang.
Tidak boros, dan mulai berpikir ulang untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur mercusuar. Dan, mulai mengurangi secara pelan utang negara, meski rasio utang per PDB masih sangat aman (44%). Namun, karena bunganya termasuk tertinggi, maka perlu “eling lan waspodo”. Idealnya, hasil durian runtuh komoditas untuk mengurangi utang negara yang angkanya sudah lewat Rp7.000 triliun.
Meski rasio utang aman, tapi beban bunga harus menjadi perhatian. Sebab, bunga utang sudah dibayar dengan utang baru berupa penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Untuk mengurangi beban dan risiko, ada baiknya jika hasil durian runtuh itu untuk mengurang utang negara.
Sejarah selalu berulang. Sepanjang harga komoditas naik, ekonomi Indonesia sulit untuk runtuh. Itu yang membedakan Indonesia dengan Sri Lanka. Indonesia, meski beban subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp502 triliun, tapi hasil pajak dan royalti komoditas dan mineral sedikit banyak dapat untuk menutupi subsidi dan kompensasi. Pajak dan royalti dari kenaikan harga komoditas mencapai Rp420 triliun, cukup untuk bantalan subsidi dan kompensasi energi.
Tanpa hasil pajak dan royalti, APBN akan roboh. Bayangkan. Dengan subsidi sebesar itu, pemerintah tentu akan mencetak utang baru untuk menutup subsidi. Angka Rp502 triliun bakal terus membengkak.
Apalagi, di lapangan, lebih banyak kendaraan yang “minum” BBM bersubsidi ketimbang yang nonsubsidi. Misalnya, harusnya sebuah kendaraan “menenggak” Pertamax, tapi seringnya malah “mengonsumsi” Pertalite yang bersubsidi yang bukan peruntukkannya. Bocornya di sini. Karena itu, isu kenaikan harga Pertalite pun makin membuat kepanikan.
Perlu hati-hati. Menurut beberapa prediksi dari sejumlah lembaga, tahun 2023 ada bahaya penurunan komoditas. Dan, itulah yang akan menjadi ketakutan paling besar bagi Indonesia jika harga komoditas ini tiba-tiba anjlok. Keuangan negara tidak kuat menyangga APBN, terjadi defisit besar, dan mau tidak mau pemerintah menaikkan harga BBM.
Akhirnya suku bunga naik, karena inflasi pasti akan menyala-nyala. Suku bunga kredit naik, daya beli turun, harga-harga naik, maka angsuran ke bank juga menjadi seret. Bank-bank pun akan menjadi “peternakan” kredit macet. Jika demikian, maka bank-bank akan sulit mengucurkan kredit karena risiko macet menjadi besar. Restrukturisasi kredit pun diperpanjang. Bank-bank masuk ke suasana konsolidasi panjang.
Karena itu, kata Pak Jokowi, “Kita harus selalu ‘eling lan waspodo’, harus ingat dan waspada”. Semua harus ingat dan waspada, termasuk para politisi – masalah utama ekonomi kita bukan soal copras–capres dan koalisi semata. Situasi akan gelap jika harga komoditas turun, sementara harga pangan dunia mendaki, termasuk harga energi dunia.
Itu lebih bahaya daripada sekadar copras-capres dan berbulan-bulan membicarakan kasus Sambo yang bak mengupas bawang – tak ada habis-habisnya. Penuh konspirasi, dan bersambung bagaikan cerita telenovela. Buktinya sekarang dua faktor itu tak berpengaruh pada ekonomi dan kesejahteraan rakyat, meski soal hukum juga penting.
Sejarah membuktikan, siapa pun presidennya, ekonomi Indonesia tetap disayang Tuhan, selalu mendapat “durian runtuh” berupa kenaikan harga komoditas. Tanpa kenaikan harga komoditas, cerita akan menjadi lain. Mari kita lalui tahun 2022 dan 2023 dengan tetap bekerja.
Semoga Tuhan tetap menyayangi Indonesia dengan kenaikan harga-harga komoditas. Insyaallah sepanjang harga komoditas masih tinggi untuk menopang subsidi BBM agar tidak inflasi terbang tinggi, kecil kemungkinan Indonesia akan masuk jurang krisis yang dalam. Namun, ada baiknya “durian runtuh” dari komoditas ini untuk mengurangi beban utang, dan tidak untuk “dibakar” saja berupa subsidi kompensasi energi. (*)