Oleh Karnoto Mohamad
Para pelaku industri asuransi umum banyak yang masih mengetatkan ikat pinggang. Di tengah paceklik premi yang masih mengancam, toleransi perusahaan asuransi umum untuk memasarkan produk surety bond akan berakhir pada pengujung tahun ini. Pasal 61 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Usaha Penjaminan mengatakan, setiap orang di luar lembaga penjaminan yang telah melakukan kegiatan penjaminan wajib menyesuaikan dengan UU ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya UU.
Jadi, menurut UU yang keluar pada awal 2016 tersebut, kesempatan perusahaan asuransi untuk memasarkan produk surety bond tidak akan ada lagi tahun depan. Padahal, kontribusi lini bisnis surety bond terhadap pendapatan premi industri asuransi umum rata-rata Rp1,5 triliun per tahun. Perusahaan asuransi umum mendapatkan kekuatan hukum untuk menjual surety bond setelah keluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi.
Namun, kekuatan hukum POJK kalah dari UU. Apabila industri asuransi umum benar-benar kehilangan pasar surety bond mulai 2019, maka perusahaan-perusahaan asuransi umum yang memiliki business line di bidang surety bond dengan porsi besar akan mengempis pendapatan preminya.
Tak mau kehilangan kue surety bond, para elite di industri asuransi umum kabarnya sudah berusaha melobi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hanya, sejumlah pejabat OJK di bidang institusi keuangan nonbank (IKNB) yang dihubungi Infobank tidak merespons soal lobi yang dilakukan para petinggi perusahaan asuransi umum tersebut. Sedangkan, beberapa praktisi asuransi yang dihubungi Infobank menandaskan bahwa industri asuransi lebih dulu menjual surety bond.
“Jadi, kami sudah pengalaman, kalau perusahaan asuransi dilarang, market bisa chaos,” tukas seorang eksekutif dari perusahaan asuransi umum kepada Infobank, bulan lalu.
Hanya, industri asuransi sepertinya harus siap-siap kehilangan premi dari pasar suretyship. Dalam Pasal 13 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 pun disebutkan bahwa perusahaan asuransi umum yang melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship wajib memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan usaha asuransi kredit dan suretyship serta memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan.
Namun, perusahaan asuransi masih memiliki kesempatan untuk menggarap pasar suretyship. Caranya, dengan mendirikan perusahaan penjaminan atau masuk dalam kepemilikan perusahaan penjaminan yang sudah ada. Saat ini ada 23 perusahaan penjaminan dengan market leader-nya Jamkrindo sebagai perusahaan pelat merah; 21 Jamkrida yang dimiliki pemerintah daerah (pemda); dan satu perusahaan swasta, yaitu Penjamin Kredit Pengusaha Indonesia yang sudah lama tidak aktif dan sedang menunggu investor.
Kendati masih harus berkompetisi, pendapatan premi surety bond bisa menopang ketika lini-lini bisnis lain mengalami penurunan, seperti terjadi di properti. Menurut data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), tahun lalu pendapatan premi dari surety bond asuransi umum anjlok 13% menjadi Rp1,43 triliun karena kerasnya kompetisi dengan produk garansi dari bank (bank garansi). Penurunan juga terjadi pada lini usaha asuransi properti yang menurun 5% menjadi Rp18,29 triliun. Asuransi kendaraan bermotor naik tipis sebesar 4,50% menjadi Rp17,23 triliun.
Biro Riset Infobank (birI) mencatat, secara industri pendapatan premi bruto industri umum naik tipis tahun lalu, yakni hanya 3,53% menjadi Rp55,17 triliun. Jumlah perusahaan asuransi umum pun berkurang menjadi 73 perusahaan, setelah tiga perusahaan, yaitu Asuransi Recapital terkena pembatasan kegiatan usaha dan Fairfax Insurance Indonesia bersama Asuransi Raya dicabut izinnya tahun lalu. Dari 73 perusahaan asuransi yang aktif, 25 di antaranya mengalami penurunan premi.
Selain ketatnya kompetisi dalam merebut pasar premi, perusahaan-perusahaan asuransi terus terperangkap dalam perang tarif dalam pemberian komisi broker yang membuat biaya akuisisi sulit terkendali sehingga menekan keuntungan. Ada 34 perusahaan yang labanya anjlok dan 12 di antaranya merugi. Secara total, laba industri asuransi umum tahun lalu menurun 4% menjadi Rp69,72 triliun.
Saat banyak perusahaan asuransi umum kinerjanya menurun, sebagian besar perusahaan asuransi jiwa menikmati pertumbuhan kinerja, baik pendapatan premi maupun laba. Industri asuransi jiwa juga kedatangan tujuh pemain baru. Biro Riset Infobank mencatat, dari 54 perusahaan asuransi jiwa yang ada, hanya enam pemain yang pendapatan premi brutonya menurun. Secara industri, pendapatan premi bruto asuransi jiwa tumbuh 20,53% menjadi Rp175,22 triliun (berdasarkan data 48 perusahaan). Produk unit link, kendati masih menjadi pendorong, pertumbuhannya lebih rendah, yaitu 10,81% menjadi Rp82 triliun.
Alhasil, perusahaan-perusahaan asuransi jiwa patungan yang sangat mengandalkan produk unit link membukukan pertumbuhan premi yang lebih rendah daripada kemampuan industrinya. Sebut saja Prudential Life Assurance yang masih menjadi perusahaan asuransi jiwa terbesar di Indonesia dan 90% produknya berupa unit link, preminya hanya naik tipis sebesar 1,16% menjadi Rp26,84 triliun.
Sementara, perusahaan-perusahaan asuransi jiwa lokal yang sudah lama memiliki kemampuan menawarkan produk asuransi tradisional mencatatkan pertumbuhan premi yang fantastis. Misalnya, Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha yang masing-masing berhasil mencetak pertumbuhan premi bruto sebesar 77,03% dan 69,39%.
Dalam “Rating 128 Asuransi Versi Infobank 2018” terlihat sebagian besar perusahaan asuransi jiwa patungan papan atas yang sangat mengandalkan produk unit link pun gagal mencetak predikat “sangat bagus”. Menurut kriteria rating versi Infobank, dari 54 perusahaan asuransi jiwa, hanya ada 15 perusahaan asuransi jiwa yang mencetak predikat “sangat bagus”.
Perusahaan asuransi jiwa peraih predikat “sangat bagus” pada rating tahun ini adalah Asuransi BRI Life, Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha, Capital Life Indonesia, Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia, Chubb Life Insurance Indonesia, Panin Dai-Ichi Life Indonesia, BNI Life Insurance, Indolife Pensiontama, AXA Financial Indonesia, Asuransi Allianz Life Indonesia, dan Avrist Assurance.
Di kelompok perusahaan asuransi jiwa dengan premi bruto di bawah Rp1 triliun hanya lima perusahaan yang meraih predikat “sangat bagus”, yaitu Reliance Life, Asuransi Jiwa Taspen, Heksa Solution Insurance, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan Asuransi Jiwa Mega Indonesia.
Sedangkan, di industri asuransi umum yang dihuni 73 perusahaan, ada 35 perusahaan yang berhasil meraih predikat “sangat bagus” atas kinerja keuangan 2017. Perusahaan asuransi umum yang berhasil meraih predikat “sangat bagus” tersebut mampu memanfaatkan ruang sempit di tengah perekonomian yang belum kuat tahun lalu dengan mempertahankan pertumbuhan bisnis dan mempertahankan rasio-rasio di atas standar regulasi maupun industri serta mencatat skor penilaian minimum 81%.
Di kelas asuransi umum, perusahaan yang meraih predikat “sangat bagus” di kelas premi bruto Rp1 triliun ke atas adalah Asuransi Sinar Mas, BRINS General Insurance, Asuransi MSIG Indonesia, Asuransi Astra Buana, Asuransi Bina Dana Arta, Asuransi Multi Artha Guna, Asuransi Wahana Tata, Asuransi Kredit Indonesia, Asuransi Jasa Indonesia, Asuransi Tokio Marine Indonesia, Tugu Pratama Indonesia, dan Asuransi Bangun Askrida.
Di kelas premi bruto Rp250 miliar sampai dengan di bawah Rp1 triliun, perusahaan asuransi umum yang mencetak predikat “sangat bagus” adalah Asuransi Sumit Oto, Asuransi Umum BCA, Asuransi Mitra Pelindung Mustika, Jasaraharja Putera, Asuransi Dayin Mitra, Asuransi Umum Mega, Asuransi Reliance Indonesia, Asuransi FPG Indonesia, Asuransi Kresna Mitra, Asuransi Tri Pakarta, AIG Insurance Indonesia, Asuransi Raksa Pratikara, Asuransi Cakrawala Proteksi, dan Asuransi Samsung Tugu.
Sedangkan, di kelompok perusahaan asuransi umum berpremi bruto di bawah Rp250 miliar yang meraih predikat “sangat bagus” adalah Arthagraha General Insurance, Asuransi Mega Pratama, Asuransi Binagriya Upakara, Asuransi Jasa Tania, Asuransi Buana Independent, Asuransi Tugu Kresna Pratama, Asuransi Artarindo, Meritz Korindo Insurance, dan Asuransi Simas Net.
Pada 2018 upaya perusahaan asuransi untuk meningkatkan performa sepertinya tidak mudah. Pertumbuhan asuransi tradisional yang tahun lalu lebih cepat bisa mengindikasikan bahwa pasar unit link sudah jenuh karena kelompok masyarakat kelas menengah yang mementingkan motif investasi mulai bergeser ke portofolio investasi di pasar modal.
Perusahaan-perusahaan asuransi jiwa perlu memikirkan kembali khitahnya untuk mengedepankan proteksi jiwa karena pasarnya masih sangat besar. Kalaupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik kembali ke atas 6.000, produk unit link yang mayoritas tertanam di pasar modal tak serta-merta menarik banyak nasabah seperti satu dekade silam, ketika unit link menjadi pintu masuk masyarakat untuk belajar berinvestasi portofolio.
Sedangkan, kue asuransi umum selalu tergantung pada kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat. Volume penjualan kendaraan roda empat tahun ini diprediksi tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Bahkan, penjualan sepeda motor bisa berlanjut seperti terjadi beberapa tahun terakhir. Begitu pula dengan sektor properti yang kendati berpeluang naik pun tak terlalu signifikan.
Jika kuenya tidak tumbuh, kompetisi dalam memperebutkan premi akan kian memanas. Brankas premi industri asuransi umum memang berpotensi tergerus dengan hilangnya pasar premi surety bond mulai 2019, sementara produksi premi dari lini usaha properti dan kendaraan bermotor stagnan. Namun, tekanan yang jauh lebih berat adalah perang tarif yang terjadi di lapangan dan sulit diatur. Pada musim paceklik, perusahaan asuransi umum takut kuenya pindah sehingga banyak perusahaan memilih membayar komisi broker yang besar sehingga menambah biaya dan menekan keuntungan.(*)