Jakarta – Menurut Biro Riset Infobank, ada empat kategori perusahaan BUMN saat ini. Satu, perusahaan yang sehat serta menguntungkan dan tetap sehat dan mencetak untung di saat pandemi COVID-19. Diantaranya Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Telkomunikasi Indonesia, Djakarta Lloyd, Pelayanan Nasional Indonesia, Perhutani, Jamkrindo, Jasa Tirta, Kawasan Industri, Wijayakusuma, Pegadaian, Pupuk Indonesia, dan Semen Indonesia.
Dua, perusahaan yang sebelumnya sehat dan untung tapi menjadi kurang sehat serta merugi karena dampak pandemi COVID-19, seperti Hutama Karya, Angkasa Pura I, Angkasa Pura 2, Sarinah, Damri, KAI, dan TWC Borobudur Prambanan dan Ratu Boko.
Tiga, perusahaan BUMN yang sebelumnya tidak sehat menjadi mulai sehat karena melakukan efisiensi dan transformasi. Seperti Krakatau Steel, RNI, Perusahaan Perdagangan Indonesia. Perusahaan di kelompok ini harus membuktikan diri bahwa perbaikan kinerja keuangannya bukan karena polesan di atas kertas pada akhir tahun ini dan tahun depan.
Empat, perusahaan BUMN duafa karena dari sebelum ada pandemi COVID-19 sudah merugi sampai sekarang, seperti Industri Gelas, Kertas Kraft Aceh, dan Merpati Nusantara Airlines.
Kementerian BUMN sendiri sudah memasukan perusahaan-perusahaan BUMN dalam kluster dead-weight, yaitu perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan belum memiliki arah yang jelas antara penciptaan nilai ekonomi dan nilai sosial. Pada awal menjabat Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan opsi terhadap kategori perusahaan ini adalah dikonsolidasikan atau ditutup.
Sementara, perusahaan-perusahaaan BUMN di bidang infrastruktur, konstruksi, kawasan, dan pergudangan, yang sebelum pandemi COVID-19 mengalami negative net worth karena utangnya lebih besar dari asetnya, justru mengalami perbaikan solvabilitas di tengah pandemic. Misalnya Perumnas dari 232,81% menjadi 90,63%, Wijaya Karya dari 139,49% menjadi 75,54%, Pembangunan Perumahan dari 136,78% menjadi 73,81%, Adhi Karya dari 123,77% menjadi 85,37%, Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dari 488,75% menjadi 47,53%, Kawasan Industri Wijayakusama dari 230,62% menjadi 25,27%, dan Banda Ghara Reksa dari 158,25% menjadi 33,49%.
Penurunan rasio utang terhadap aset tak serta merta langsung menyehatkan kondisi keuangan karena ada tekanan dari sisi pendapatan yang membuat profitabitasnya tergerus. Misalnya Hutama Karya, Waskita Karya, dan Perumnas yang mengalami kerugian pada 2020.
Selain itu, masih 33 perusahaan BUMN yang rasio utang dibanding aktivanya di atas 80% pada 2020. Bahkan, 12 perusahaan negative net worth seperti Industri Nuklir Indonesia, Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), Garuda Indonesia, DOK dan Perkapalan, Kertas Kraft Aceh, Kertas Leces, Pengembangan Armada Niaga Nasional, dan Survei Udara Penas.
Rendahnya solvabilitas sejumlah perusahaan BUMN pun sudah terlihat pada tahun-tahun sebelum pandemi COVID-19 sebagai indikator sejumlah BUMN itu tidak mampu mencetak revenue yang memadai agar bisa membiayai seluruh kewajibannya.
Lalu bagaimana kinerja 118 perusahaan BUMN menurut hasil riset Biro Riset Infobank 2021? Mengapa BUMN perlu diguyur dana APBN hingga Rp148,70 triliun pada anggaran 2021 dan 2022? Selengkapnya baca Majalah Infobank Nomor 521 September Juli 2021. (KM)
Jakarta - Zurich Topas Life terus memperkuat posisinya di industri asuransi dengan beragam inovasi digital… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Jakarta - PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia (Allianz Syariah) terus berupaya meningkatkan literasi masyarakat tentang… Read More
Jakarta – Pesatnya perkembangan teknologi di era modern tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga meningkatkan… Read More
Jakarta - Bank Mandiri Taspen (Bank Mantap) terus menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan para nasabahnya,… Read More
Jakarta – Rencana aksi korporasi BTN untuk mengakuisisi bank syariah lain masih belum menemukan titik terang. Otoritas… Read More