Oleh Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM, Jakarta dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Atma Jaya Jakarta.
PADA 20 Oktober 2025, genap setahun Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memimpin Indonesia. Bagaimana kinerja Prabowo-Gibran di industri perbankan?
Kalau mengintip kinerja dari sisi moneter terlihat cukup menggembirakan. Nilai tukar rupiah terjaga pada kisaran Rp16.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) sebagai penjaga stabilitas moneter terus melakukan intervensi pasar keuangan.
Tak hanya nilai tukar rupiah, inflasi pun terkendali 2,65 persen per akhir September 2025. Memang ada kenaikan dari 2,31 persen per akhir Agustus 2025, tapi masih di bawah target inflasi 2,5 persen plus minus 1 persen.
Di lain sisi, cadangan devisa sebesar USD147,8 miliar per September 2025, turun dari posisi sebulan sebelumnya USD150,7 miliar. Penurunan itu sejalan dengan intervensi BI di pasar keuangan dalam mengendalikan nilai tukar rupiah.
Bagaimana kinerja fiskal? Kondisi fiskal tidak begitu memuaskan. Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN hingga September 2025 mencapai Rp371,5 triliun atau 1,56 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, realisasi belanja negara baru mencapai 62,8 persen per kuartal III-2025. Beberapa kementerian/lembaga mencatat penyerapan anggaran yang rendah, seperti Badan Gizi Nasional 16,9 persen, Kementerian Pertanian 32,8 persen, dan Kementerian PUPR 48,2 persen.
Sarinya, kinerja penyerapan anggaran tampak rendah. Padahal, belanja negara (government spending) mestinya menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Kinerja Industri Perbankan
Lantas, bagaimana kinerja industri perbankan pemerintahan Prabowo? Mari kita lihat dan cermati!
Pertama, kita cermati dulu kinerja bank umum hingga September 2025. Kredit perbankan masih tumbuh positif dari 7,03 persen (year on year/yoy) pada Juli 2025 menjadi 7,56 persen per Agustus 2025. Angka itu jauh di bawah pertumbuhan kredit setahun lalu 11,4 persen (per Agustus 2024).
Untunglah pertumbuhan kredit makin subur. Per September 2025 pertumbuhannya mencapai 7,70 persen. Sayangnya, angka itu pun masih di bawah pertumbuhan pada September 2024 sebesar 10,85 persen.
Kedua, tetiba Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, membuat gebrakan dengan menyuntikkan dana segar Rp200 triliun ke empat bank pemerintah: Bank Mandiri, BRI, BNI masing-masing Rp55 triliun dan BTN Rp25 triliun. Sementara, Bank Syariah Indonesia (BSI) disuntik Rp10 triliun pada 12 September 2025.
Dana segar itu berasal dari saldo anggaran lebih (SAL) yang selama ini disimpan di BI. Suntikan itu bertujuan final untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Simpanan di bank itu dianggap sebagai deposito yang dapat diambil sewaktu-waktu (deposit on call) dengan bunga 4 persen. Bank penerima dana dilarang menggunakannya untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) dan/atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Ketiga, ternyata suntikan dana segar itu mengundang banyak perdebatan atau komentar dari sejumlah pakar. Menurut Makmur Keliat, seorang pakar, terdapat tiga klaster perdebatan. Pertama, klaster regulasi. Kedua, klaster mazhab pertumbuhan ekonomi. Ketiga, klaster ekonomi politik.
Terkait klaster pertama, pertanyaan yang muncul, apakah pemindahan dana itu sah menurut hukum? Sebagian mengatakan tidak sejalan. Sebagian yang lain menyatakan bahwa pemindahan itu sudah sesuai dengan ketentuan regulasi.
Untuk klaster kedua, yaitu perdebatan pada tataran mazhab pertumbuhan ekonomi, muncul pandangan bahwa dalam situasi sulit seperti sekarang ini, ketika pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan atau resesi, pemerintah harus melakukan intervensi lebih besar. Caranya dengan menggelontorkan dana likuiditas lebih besar kepada masyarakat.
Sementara, di klaster ketiga, yaitu terkait ekonomi politik, mereka yang menganut pendekatan ini menyatakan bahwa keputusan-keputusan ekonomi tidak berada dalam ruang hampa politik. Mereka menduga, mungkin saat ini tengah terjadi pergeseran jejaring finansialisasi rente (network of rent financialization). Istilah itu mengacu pada pengertian adanya suatu ekosistem dari organisasi-entitas bisnis keuangan dan investor.
Jejaring ini telah menghasilkan laba, tetapi merugikan komunitas atau masyarakat. Jejaring ini disebutkan telah mendapatkan insentif kemudahan perolehan dana dari sumber-sumber penempatan dana di BI itu (Kompas, 25 September 2025).
Dalam klaster kedua disebutkan bahwa pemerintah harus melakukan intervensi lebih besar dengan cara menggelontorkan dana likuiditas lebih besar kepada masyarakat. Pandangan ini mirip dengan pandangan Thomas F. Huertas dalam bukunya, Crisis: Cause, Containment and Cure (2011).
Huertas menyatakan, to arrest the economic decline, governments agreed to support sistemically important financial institutions (halaman 115). Untuk menghentikan kemerosotan ekonomi, pemerintah sepakat untuk mendukung lembaga keuangan yang penting secara sistemis.
Jika melihat sosok Purbaya yang merupakan lulusan teknik elektro, tidak heran jika dalam memandang fenomena ekonomi, dia membawa cara pikir “eksakta” dengan melihat data sebagai basis gerak – sebagaimana benda yang bergerak hanya karena adanya gaya.
Dalam sejarah pemikiran ekonomi, pendekatan seperti ini sering disebut “Ekonomi Newtonian” yang menekankan keseimbangan dengan analogi mekanika. Namun, dalam era modern, muncul istilah baru, “ekonofisika”.
Ekonofisika merupakan pemodelan fenomena ekonomi terutama dalam situasi yang penuh ketidakpastian, fluktuasi dan dinamika nonlinier dengan menggunakan teori fisika statistik dan fisika kompleksitas. Tujuannya adalah memahami proses ekonomi dengan memandangnya sebagai sistem fisika.
Hukum-hukum fisika dipakai untuk menjelaskan fenomena seperti fluktuasi harga, saham, distribusi kekayaan, dan perilaku pasar. Data dianggap sebagai partikel yang bergerak yang bila dianalisis akan menyingkap pola kompleks.
Dalam fisika, gerak ditentukan oleh gaya dan massa. Jika gaya lebih besar daripada massa, maka percepatan tercipta. Jika gaya terlalu kecil, benda cenderung diam karena hukum inersia.
Purbaya menggunakan kerangka ini ketika menyampaikan bahwa dana yang “mengendap” di BI harus dikeluarkan untuk menggerakkan ekonomi. Ia mengusulkan sekitar Rp200 triliun dipindahkan ke perbankan.
Analogi fisika terlihat nyata. Dana yang diam adalah massa besar yang tak bergerak. Ketika ada gaya dorong – dalam bentuk kebijakan fiskal – maka sistem pun bergerak (Yayat Syariful Hidayat, Investor Daily, 6 Oktober 2025).
Keempat, mengapa ada suntikan dana segar? Apakah saat ini perbankan sedang kekurangan likuiditas (supply side)? Tidak! Hal itu tecermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang 29,29 persen per September 2025. Justru naik 7,49 persen dari 27,25 persen per Agustus 2025.
Rasio itu jauh di atas ambang batas 10 persen. Artinya, masalah saat ini ada pada sisi permintaan kredit (demand side) yang sedang paceklik.
Likuiditas yang melimpah itu pun tersirat pada kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) yang naik dari Rp2.372,11 triliun per Agustus 2025 menjadi Rp2.374,8 triliun per September 2025. Data itu menunjukkan bank telah kehilangan kesempatan dalam meneguk nikmatnya pendapatan dari suku bunga kredit (interest income).
Dana segar seperti itu juga akan mengucur ke bank pembangunan daerah (BPD). Bank Jakarta dan Bank Jatim, misalnya, akan menerima kucuran dana segar masing-masing Rp20 triliun dan Rp10 triliun. Hal itu akan menjadi tonikum bagi BPD.
Kelima, hebatnya, hingga awal Oktober 2025 (sebulan setelah dana disuntikkan), Bank Mandiri mampu menyerap 74 persen (Rp40,70 triliun dari Rp55 triliun), BRI 62 persen (Rp34,10 triliun dari Rp55 triliun), dan BNI 50 persen (Rp27,5 triliun dari Rp55 triliun). Lalu, BTN 19 persen (Rp4,75 triliun dari Rp25 triliun) dan BSI 55 persen (Rp5,50 triliun dari Rp10 triliun) (Infobanknews.com, 9 Oktober 2025).
BI menargetkan pertumbuhan kredit pada 2025 mencapai 8 persen-11 persen. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih optimistis dengan target pertumbuhan kredit mencapai 9 persen-11 persen. Apakah pertumbuhan kredit perbankan pada akhir 2025 akan mencapai target menurut BI dan OJK?
Lalu, apakah dana Rp200 triliun itu mampu mendorong penyaluran kredit menjadi dua digit pada akhir 2025? Data mencatat, kucuran kredit Rp8.075 triliun membuahkan pertumbuhan kredit 7,56 persen per Agustus 2025. Maka, Rp200 triliun akan mengerek pertumbuhan kredit paling tinggi 1 persen.
Dengan demikian, rasio kredit sulit mencapai dua digit sampai dengan akhir 2025. Mengapa? Lantaran sisa waktu tinggal dua bulan lagi dan permintaan kredit masih jalan di tempat.
Keenam, di lain sisi, tingkat pengangguran terbuka 4,76 persen (7,28 juta orang) per Februari 2025. Hanya turun 0,06 persen dari 4,82 persen per Februari 2024 (BPS).
Karena itu, bank hendaknya menyalurkan kredit ke sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan padat karya. Katakanlah, sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air, konstruksi, pertambangan, pariwisata, dan ekonomi kreatif.
Ketujuh, bank juga dapat mengucurkan kredit ke sektor UMKM. Sebab, UMKM mampu menyerap 100 juta lebih tenaga kerja. Kredit pun bisa mengalir ke 80.000 Koperasi Desa Merah Putih dengan jaminan Dana Desa.
Langkah Mitigasi Risiko
Kedelapan, namun bank wajib terus memperbaiki kualitas kredit agar rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) terkendali. Kini NPL 2,08 persen per Agustus 2025, jauh di bawah ambang batas aman 5 persen. Intinya, bank wajib menerapkan tata kelola (governance), manajemen risiko (risk), dan kepatuhan (compliance) atau GRC. Ini harga mati!
Karena itu, kebijakan fiskal pemerintah wajib berfokus pada penciptaan kesempatan kerja. Plus aneka jurus untuk menggenjot daya beli masyarakat. Ketika kesempatan kerja kian melimpah, daya beli masyarakat akan naik. Alhasil, konsumsi rumah tangga bakal lebih tinggi untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi!









