Jakarta – Gempuran Israel di jalur Gaza yang menewaskan banyak korban warga sipil membuat warga di seluruh dunia geram. Mereka pun melakukan berbagai sanksi kepada negeri Yahudi tersebut.
Salah satunya, gerakan BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi) yang memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel.
Gerakan ini dinilai sukses membuat ekonomi Israel ambruk lantaran warga di berbagai dunia kompak tak membeli produk yang masuk dalam daftar boikot.
Baca juga: Ramai Boikot Produk Terafiliasi Israel Berpengaruh ke Perdagangan Bursa? Ini Jawaban BEI
Dilansir Al Jazeera, ada laporan nilai kerugian yang diderita oleh Israel. Merujuk pada laporan tahun 2008 lalu saja, gerakan boikot berpotensi menimbulkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau setara Rp180,48 triliun per tahun bagi Israel.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran Israel. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir, Israel telah memprioritaskan misi diplomatic dalam menanggulangi gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun telah bertindak melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot.
Hal ini karena ribuan orang di Israel disinyalir berpotensi kehilangan mata pencarian apabila negeri zionis tersebut diboikot secara penuh oleh internasional.
Sementara itu, Dinukil CNBC, Israel sendiri membantah adanya gerakan boikot dapat memberikan dampak kerugian. Justru, dengan optimis Israel mengatakan jika hal itu hanya akan menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya.
Adapun, organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution menilai bahwa gerakan BDS tidak secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel.
Baca juga: Akun Medsos Tersebar, Tentara Israel Kena Mental ‘Dirujak’ Warganet RI
Sebab, hampir 40 persen ekspor Israel merupakan barang “intermediet” atau produk tersembunyi yang dipakai dalam proses produksi barang di tempat lain seperti semikonduktor.
Namun, bila mengacu pada data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang “intermediet” menyusut tajam dari 2014 hingga 2016. Hal ini menimbulkan kerugian sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp94,16 triliun. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra