Quo Vadis, OJK

Quo Vadis, OJK

Oleh Lucky Fathul Aziz Hadibrata

SEJAK dinyatakan terjadi pandemi COVID-19 pada 3 Maret 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah berperan nyata dengan mengeluarkan lebih dari 11 peraturan OJK (POJK) dalam enam bulan terakhir dalam rangka pemulihan ekonomi nasional melalui penguatan peran.

OJK berusaha menjalankan berbagai program, bersinergi dengan pemerintah, Bank Indonesia (BI),  dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. OJK membuat relaksasi kebijakan di berbagai sektor ekonomi untuk memberikan kemudahan dan keringanan bagi para pelaku ekonomi, baik pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun komersial dan korporasi.

Pada saat awal terjadi pandemi, OJK dengan cepat memberikan respons relaksasi kredit dan pembiayaan berupa restrukturisasi kredit dan pembiayaan. Hal itu sebagai upaya perbaikan dalam kaitannya dengan kegiatan perkreditan yang dilakukan debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Restrukturisasi yang dimaksud antara lain penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, serta pengurangan tunggakan pokok dan bunga kredit.

Dalam kondisi pandemi, di samping melakukan restrukturisasi kredit perbankan dan pembiayaan, OJK tetap memberikan tambahan bantuan modal dengan tujuan agar debitur mampu bertahan atas usahanya. Dengan demikian, usaha atau bisnis debitur tetap dapat berjalan meskipun dalam kondisi tidak normal dan para pegawainya masih bisa bekerja meskipun penghasilannya berkurang. Perbankan serta perusahaan pembiayaan juga seyogianya berusaha agar debitur mampu menjaga cah flow-nya.

Peran OJK yang begitu besar dibuktikan dengan realisasi restrukturisasi kredit perbankan, yang per 10 Agustus sebanyak 7,18 juta debitur atau mencapai Rp837,64 triliun, termasuk restrukturisasi UMKM sebanyak 5,73 juta debitur dengan nilai Rp353,17 triliun. Sementara, perusahaan pembiayaan telah merestrukturisasi sebanyak 4,52 juta kontrak dengan nilai Rp176,33 triliun. Demikian pula pembiayaan oleh lembaga pembiayaan mikro dan bank wakaf memperoleh perhatian khusus dalam perkembangannya oleh OJK.

Pengawasan Terintegrasi Berbasis Konglomerasi

Sembilan tahun berdiri, OJK mampu mengintegrasikan pengawasan lembaga jasa keuangan berbasis konglomerasi – yang semula tugas pengawasan pasar modal dan industri keuangan nonbank (IKNB) dilakukan oleh Bapepam/LK di bawah Kementerian Keuangan digabungkan dengan pengawasan bank yang merupakan tugas pokok BI. Pada akhirnya semua itu dapat diintegrasikan, baik dari segi strategi pengawasan, pengaturan kelembagaan yang disusun dengan harmonisasi dan juga penyelarasan, pengawasan gabungan baik antarunit pengawas di OJK maupun BI, khususnya sistem pembayaran dan likuiditas bank dalam rangka pengawasan makroprudensial.

Di samping itu, telah dilakukan integrasi sistem pelaporan dan data warehouse antara BI, OJK, dan LPS sehingga akan memudahkan bagi sektor jasa keuangan. Langkah strategis pengawasan terintegrasi berbasis konglomerasi telah terbukti dengan dikeluarkannya berbagai aturan untuk menyatukan pengawasan bank, pasar modal, dan IKNB, baik terkait dengan manajemen risiko, tata kelola, maupun permodalan dalam penguatan perusahaan holding dan anak-anaknya.

OJK terus memantau dan mengawasi 48 konglomerasi keuangan dengan total aset mencapai Rp7.187 triliun (72% dari total aset sektor jasa keuangan di Indonesia). Sembilan tahun mengintegrasikan pengawasan, OJK telah memberikan hasil yang baik dan pada akhirnya informasi terkait dengan konglomerasi harus terkait dengan informasi perpajakan.

Kontribusi Sektor Jasa Keuangan di Tengah Pandemi COVID-19

Kontribusi perbankan yang begitu strategis seharusnya ke depan menurun perannya sejalan dengan makin besarnya kegiatan pasar modal, juga makin baiknya IKNB dan teknologi finansial (tekfin).

Pertumbuhan kredit perbankan secara year on year (yoy) menunjukkan kenaikan sebesar 5,92%, yang bertumpu pada sektor pertambangan yang tumbuh 11,29% dan konstruksi 3,08%.

Hal yang menarik, perbankan dalam situasi saat ini mulai meningkat kontribusinya terhadap sektor pertanian (3,31%). Diharapkan dalam jangka pendek ke depan akan lebih tinggi lagi kontribusinya guna mendukung kemampuan untuk swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional di tengah pandemi ini.

Kepercayaan publik juga meningkat sejalan dengan meningkatnya penghimpunan dana di pasar modal (Rp63,7 triliun). Nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana mencapai Rp519,5 triliun dan pertambahan emiten baru sebanyak 32 pada Agustus 2020. Demikian pula investasi dana pensiun (yoy) yang per Juli 2020 mencapai Rp282,74 triliun.

Bukti nyata bagaimana OJK menjaga ketahanan sektor jasa keuangan di tengah pandemi ini adalah masih terjaganya risiko, dalam hal ini kredit perbankan berupa NPL gross dan nett serta NPF pembiayaan yang menurun. Namun, untuk mengantisipasi risiko karena pandemi, dilakukan upaya meningkatkan pencadangan. Di lain sisi, ketahanan sektor jasa keuangan tetap terjaga. Hal itu ditunjukkan dengan memadainya CAR perbankan, gearing ratio perusahaan pembiayaan, dan RBC asuransi yang masih terjaga di atas threshold.

Mau Dibawa ke Mana OJK ke Depan

Menurut berita yang berkembang, pengawasan bank akan kembali ke BI dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan nonbank akan kembali sebelum berdirinya OJK tahun 2013. Jika hal itu benar nantinya, jelas itu merupakan langkah mundur, terutama dalam rangka pengawasan terintegrasi berbasis konglomerasi. Pembobol jasa keuangan pun akan berlindung di balik kebijakan dan aturan terlemah dari pengawasan lembaga keuangan tersebut.

Hal itu perlu direnungkan kembali oleh para elite politik. Masyarakat juga perlu memahami bahwa saat ini fokus OJK lebih jelas dan tegas. Pengalaman buruk pengawasan bank di bawah BI ialah mencuatnya kasus-kasus luar biasa, seperti kasus BLBI dan Bank Century serta bagaimana kasus-kasus di pasar modal dan perusahaan asuransi dan lembaga pembiayaan yang menjadi perhatian besar publik dan elite politik saat ini. Perlu digarisbawahi, kasus-kasus itu terjadi sebelum OJK berdiri sembilan tahun lalu.

Oleh sebab itu, penguatan kelembagaan OJK, komitmen dan konsistensi dalam mengambil keputusan dengan tegas dan benar,  serta kepemimpinan dan sinergi kebijakan antarpemangku kepentingan di bidang keuangan di negeri ini sangat penting.

Masyarakat juga sangat berharap lebih atas perlindungan sebagai konsumen sehingga perlu adanya pendekatan komunikasi yang lebih baik dan pengaturan perlindungan konsumen yang lebih memadai dan komprehensif.

Untuk itu, legislatif sebagai lembaga yang membidani berdirinya OJK sembilan tahun lalu sudah seharusnya mendidik dan menunjukkan arah yang benar, akan ke mana OJK? Sehingga, OJK akan menjadi lebih baik, dirasakan masyarakat banyak dan sesuai dengan apa yang dicitakan negara dalam jangka panjang.

*) Penulis Adalah Praktisi Ekonomi dan Keuangan

Related Posts

News Update

Top News