oleh Agus E. Siregar
PEREKONOMIAN suatu negara tidak dapat dipisahkan dari peran perusahaan-perusahaan besar yang beraktivitas di negara tersebut. Perusahaan-perusahaan besar berperan melalui pajak yang dibayar, output produksi untuk mendukung PDB, penyerapan tenaga kerja, dan juga stabilitas sistem keuangan khususnya untuk perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan.Perusahaan besar membentuk konglomerasi dengan berbagai alasan antara lain: (1) meningkatkan efisiensi dan skala ekonomis dengan menghemat sumber daya yang dapat dipakai bersama seperti sistem informasi dan teknologi, keahlian dan pengalaman, riset, sumber daya manusia, dan fungsi pendukung lainnya (2) mewujudkan sinergi dengan melakukan transaksi antar entitas dalam konglomerasi, pembagian informasi dan menekan biaya, dan (3) diversifikasi lini usaha untuk mitigasi risiko antar sektor.
Pada sektor jasa keuangan kita mengenal istilah Konglomerasi Keuangan (KK), yaitu Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. LJK dimaksud dapat berupa bank, perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, maupun perusahaan pembiayaan. Saat ini terdapat 48 KK lintas sektor dan memiliki aset signifikan dengan total asset per 31 Desember 2016 mencapai Rp5.915 triliun atau 67,52 persen dari total aset keseluruhan sektor jasa keuangan dan memiliki beragam struktur, baik vertikal, horizontal maupun campuran. Perkembangan KK di Indonesia menjadi dasar perlunya pengaturan dan pengawasan dari Otoritas terkait, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini merupakan suatu keniscayaan mengingat dengan total aset yang sangat besar, KK memiliki potensi yang signifikan untuk mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Sementara itu stabilitas sistem keuangan sendiri merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam melakukan pengawasan terintegrasi terhadap KK, OJK selama ini menggunakan pendekatan Entitas Utama (EU), yaitu LJK induk dari KK atau LJK yang ditunjuk oleh Pemegang Saham Pengendali KK untuk melakukan fungsi koordinasi LJK anggota KKdalam rangka penerapan peraturan dan pengawasan terintegrasi. Penunjukan EU merupakan suatu pendekatan yang dipilih mengingat Indonesia belum memiliki ketentuan tentang Perusahaan Induk (holding company), khususnya Perusahaan Induk di sektor jasa keuangan (financial holding company) dan juga sebagai pendekatan awal untuk membiasakan OJK serta KK dalam melakukan pengawasan terintegrasi yang berbasis risiko.
Dalam perkembangannya, konsep EU ini mulai menunjukkan hasil yang baik, namun disisi lain menimbulkan kesulitan, terutama untuk KK dengan struktur horizontal atau campuran, di mana LJK EU tidak memiliki pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap LJK lain yang terelasi dalam KK. Selain itu konsep EU pada dasarnya belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip/praktik terbaik yang berlaku secara internasional. Di tataran internasional, dalam rangka pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap KK, telah diterapkan konsep Financial Holding Company (FHC) sebagai LJK induk dari suatu KK yang berfungsi mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas KK.
Saat ini OJK tengah mempersiapkan kebijakan/ peraturan yang mewajibkan KK memiliki atau menunjuk Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK), untuk menggantikan fungsi EU yang dilaksanakan oleh salah satu LJK dalam kerangka pengawasan terintegrasi yang berlaku saat ini. Pemegang Saham Pengendali/ PSP (ultimate owner) akan diminta untuk membentuk/menunjuk PIKK di Indonesia yang akan mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas KK. PIKK akan mengambil alih tanggung jawab EU dalam menerapkan peraturan dan pengawasan terintegrasi. Dengan PIKK sebagai perusahaan induk, maka tidak akan ada lagi kesulitan melakukan pengawasan secara terintegrasi sebagaimana jika dilakukan oleh EU, karena seluruh LJK dalam KK berada di bawah kendali PIKK baik langsung maupun tidak langsung.
Konsep PIKK tersebut merupakan perubahan konsep yang cukup signifkan, karena KK harus melakukan penataan organisasinya yang tadinya mungkin belum tertata rapi, kini seluruhnya rapi berada di bawah PIKK. Bagi PSP, dengan adanya PIKK maka akan memudahkan untuk memantau perkembangan bisnis jasa keuangan yang dimiliki. Di sisi lain, dengan adanya PIKK maka pengawasan oleh OJK juga akan lebih efektif. OJK juga berwenang untuk menata struktur KK dan memperoleh informasi dari PSP/PSPT terkait potensi eksposur risiko KK yang berasal dari perusahaan non-keuangan yang berada dalam pengendaliannya. Tentu saja dukungan penuh dari segenap pemangku kepentingan dalam penerapan ketentuan ini, terutama dari KK sendiri, menjadi prasyarat utama. OJK dan PSP/PSPT (Pemegang Saham Pengendali Terakhir) akan bekerjasama dan berkolaborasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mengembangkan KK agar bermanfaat bagi perekonomian nasional dan seluruh stakeholder. (*)
Penulis adalah Deputi Komisioner Pengawasan Terintegrasi OJK