Jakarta – Pro dan kontra rencana revisi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah masih terus menggelinding bak bola salju. Ada yang menyebut mahzab dual system perbankan, yakni syariah dan konvensional merupakan langkah mundur.
Ada juga yang menyebut sebagai langkah maju lantaran masyarakat di Bumi Rencong ini memiliki dua pilihan. Apalagi, OJK, Pemerintah Provinsi Aceh dan pelaku usaha sudah memberi restu revisi Qanun.
Lantas, pertanyaan besar pun muncul. Setelah Qanun LKS diberlakukan sejak 4 Januari 2019 lalu, apakah industri perbankan di Bumi Serambi Mekkah semakin digdaya atau justru melorot?
Menyikap hal tersebut, Peneliti Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Etikah Karyani Suwondo mengatakan, pada kuartal I-2023, industri perbankan di Aceh mengalami tren kemerosotan.
Ini terlihat dari dana pihak ketiga (DPK) sampai ke angka Rp2,17 triliun (februari 2023) sejak Qanun LKS diterapkan dan bank konvensional berhenti beroperasi di Aceh.
Baca juga: Revisi Qanun jadi Cerminan ‘Suara Hati’ Masyarakat Aceh
Kondisi ini sejalan dengan data Biro Riset Infobank (birI), sejak diberlakukan Qanun Aceh justru perbankan Aceh mengalami kemunduran. Hal ini bisa dilihat dari data dana masyarakat yang justru merosot manakala dana masyarakat tumbuh.
Pada 2019 saja, dana masyarakat di Aceh mencapai Rp42,24 triliun, namun kemudian melorot menjadi Rp41,79 triliun di 2020. Pada Maret 2023 melorot lagi menjadi Rp37,39 triliun.
Namun, kata Etikah, hal ini tidak berarti bahwa minat masyarakat Aceh menurun terhadap produk perbankan syariah sehingga pemerintah Aceh dan DPRA harus merevisi Qanun LKS dengan menghadirkan bank konvensional kembali ke Aceh.
“Di lain sisi, dengan mengundang kembali bank konvensional akan bertentangan dengan nilai dasar adat dan budaya masyarakat Aceh,” katanya kepada Infobanknews, Kamis 15 Juni 2023.
Ia menilai, produk perbankan syariah yang ada saat ini belum dapat memenuhi masyarakat yang sebelumnya tersedia di bank konvensional, seperti dalam hal layanan asuransi padi dan ternak yang memberatkan para petani.
“Belum lagi kasus kejahatan siber baru terjadi yang menurunkan tingkat kepercayaan terhadap reputasi perbankan syariah sehingga harus diantisipasi sesegera mungkin oleh pihak BSI dan pemerintah,” jelasnya.
Baca juga: Soal Revisi Qanun Aceh: Benarkah Perbankan Aceh Merosot Setelah Qanun Aceh?
Adapun, pelayanan BSI Mobile yang menyediakan fitur-fitur islami seperti Ziswaf, penunjuk arah kiblat dan waktu salat lokal dan global sebenarnya lebih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh yang Islami dibandingkan bank konvensional yang tidak menyediakan fitur-fitur seperti ini.
“Namun, ini tidak cukup. Pasalnya yang dibutuhkan saat ini adalah mengevaluasi BSI dan perbankan syariah lainnya di Aceh,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama