Poin Penting
- Menkeu Purbaya menilai indikator likuiditas perbankan saat ini tidak akurat, karena meski disebut “banjir likuiditas”
- OJK menegaskan telah memiliki berbagai indikator dan regulasi likuiditas, termasuk LCR, NSFR, Leverage Ratio, serta mewajibkan bank menerapkan ILAAP
- Penerapan regulasi likuiditas terbaru bertujuan memperkuat struktur permodalan dan likuiditas perbankan.
Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai diperlukan pembaruan atau alat ukur baru untuk menghitung kondisi likuiditas perbankan. Pasalnya, bacaan kondisi bank yang disebut ‘banjir likuiditas’ tidak sesuai dengan situasi nyata di lapangan yang justru ketat.
Menanggapi hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan telah memiliki beberapa indikator untuk mengukur risiko likuiditas perbankan dalam penilaian tingkat kesehatan bank yang dihitung dan disampaikan secara berkala misalnya rasio aset likuid (primer dan sekunder) dibandingkan dengan total aset.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menyebutkan OJK menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19 Tahun 2024 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio/LCR) bagi bank umum dan POJK Nomor 20 Tahun 2024 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR) bagi bank umum.
Baca juga: Obligasi SMF Underlying Repo BI, Benarkah Jadi “Jalan Baru” Atasi Likuiditas Perbankan?
Selain itu, terdapat POJK Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio/LCR) dan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR) bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), serta POJK Nomor 21 Tahun 2025 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pengungkit (Leverage Ratio) bagi BUS.
Selanjutnya, dalam POJK LCR BUK dan POJK LCR NSFR BUS UUS telah diamanatkan bank wajib melakukan Internal Liquidity Adequacy Assessment Process (ILAAP) yang disesuaikan dengan ukuran, karakteristik, dan kompleksitas usaha bank.
“Atas amanat kedua ketentuan tersebut, telah disusun RSEOJK ILAAP yang akan berlaku bagi BUK, BUS, dan UUS. Dalam ILAAP, bank perlu melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko likuiditas dalam berbagai jangka waktu dan skenario tekanan yang dihadapi,” jelas Dian dalam jawaban tertulis, dikutip, Senin, 24 November 2025.
Menurutnya, dengan diterapkannya ILAAP, bank dimungkinkan untuk melakukan pengelolaan likuiditas sejalan dengan tingkat risiko yang diambil (risk appetite) dan toleransi risiko (risk tolerance) yang ditetapkan oleh bank serta memperhitungkan dampak risiko likuiditas terhadap kondisi bank.
Lebih lanjut, kata Dian, penerbitan berbagai ketentuan dimaksud didasari bahwa BUK, BUS dan UUS perlu memiliki likuiditas yang kuat dan memadai untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, mampu berkembang dan bersaing secara nasional maupun internasional, serta sejalan dengan perkembangan standar internasional.
“OJK menilai bahwa suatu rasio likuiditas yang setara, dapat diandalkan, dan dapat diperbandingkan merupakan hal yang penting dalam menilai kecukupan kuantitas aset keuangan yang berkualitas tinggi untuk mengantisipasi arus kas keluar bersih (net cash outflow) pada industri perbankan,” pungkasnya.
Oleh karena itu, lanjut Dian, ketentuan-ketentuan tersebut menjadi langkah penting dalam memperkuat struktur permodalan, likuiditas, dan pendanaan jangka panjang BUK, BUS dan UUS agar semakin tangguh, efisien, serta sejalan dengan standar internasional, yakni Basel III.
“Penerapan prinsip-prinsip tersebut memastikan bahwa sistem keuangan Indonesia selaras dengan praktik terbaik internasional (best practices), sekaligus memperkuat kredibilitas dan daya saing industri perbankan di tingkat global,” tambahnya.
Dian menegaskan, OJK bersama pemangku kepentingan lainnya yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) senantiasa berkoordinasi dalam menerapkan kebijakan untuk meminimalkan dampak ketidakpastian global terhadap sistem keuangan maupun perbankan Indonesia, termasuk terkait dengan kondisi likuiditas perbankan.
Sebelumnya, Purbaya menyatakan pembacaan kondisi bank yang disebut “banjir likuiditas” terjadi hampir setiap tahun. Bahkan, pada 2020-2021 saat pandemi COVID-19 melanda, regulator seperti OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia (BI) tetap menyatakan likuiditas perbankan mencukupi, padahal kondisi sebenarnya justru ketat.
Baca juga: BI Guyur Likuiditas Rp393 Triliun ke Perbankan per Awal Oktober 2025
“Semuanya bukan OJK, keuangan, BI, semuanya selalu bilang LPS selalu dibilang ample. Padahal kalau lihat datanya ke bank susah, tight. Jadi ya, mesti dilihat lagi alat ukur yang pas untuk melihat kondisi likuiditas yang real,” kata Purbaya dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat, 17 Oktober 2025.
Purbaya mengaku, saat masih menjabat sebagai Bos LPS dan mengikuti rapat KSSK, ia menilai rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tidak menggambarkan kondisi riil perbankan.
“Artinya alat ukurnya salah. Saya minta dulu mereka LPS juga suruh kembangkan alat ukur yang baru, sampai sekarang belum ada, AL/NCD dan AL/DPK kan itu hitungannya itu nggak menggambarkan keadaan di lapangan, kalau nggak kita nggak melambat kayak kemarin ekonominya harus riset baru,” ungkapnya. (*)
Editor: Galih Pratama









