Oleh Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas 2006-2016
Saya mulai tulisan ini dengan anjuran agar kita semua belajar dari sejarah, khususnya sejarah mengenai pandemi. Kita harus waspada terhadap potensi serangan virus Corona 19 gelombang kedua.
Pandemi Flu Spanyol pada tahun 1918 mencatat korban meninggal di seluruh dunia sebanyak 50 juta orang lebih. Korban terbesar justru terjadi pada saat serangan virus gelombang kedua. Pada saat itu begitu penerapan “lockdown” dilonggarkan, masyarakat mengalami euforia karena merasa bebas ke luar rumah. Mereka melupakan protokol pencegahan penularan, melepas masker, melupakan keharusan jaga jarak, mulai berkerumun, melakukan kegiatan sosial, pesta-pesta, dan lain-lainnya. Ketika terjadi serangan gelombang kedua dan kemudian diputuskan akan dilakukan lockdown yang kedua sudah terlambat. Korban berjatuhan seperti daun di musim gugur.
Kita harus betul-betul mencermati perkembangan kasus Covid 19, sebelum memutuskan melonggarkan PSBB. Tidak perlu menjadi seorang ahli epidemiologi untuk memahami angka-angka di bawah ini. Akhir pekan lalu, merupakan salah satu momen yang cukup mencemaskan banyak kalangan yang mencermati perkembangan kasus Covid 19 di Indonesia.
Pada hari Sabtu 9 Mei 2020 tercatat penambahan kasus Covid 19 sebanyak 533 kasus. Ini merupakan penambahan kasus harian tertinggi sejak Covid 19 terdeteksi pada bulan Maret lalu. Jumlah kasus baru pada tanggal yang sama melonjak 58,6% dari hari sebelumnya. Jumlah kasus baru tersebut juga lebih dari dua kali lipat dari rata-rata harian yang sebanyak 198 kasus. Rata-rata bergerak (moving average) 7 hari, kembali menunjukkan tren kenaikan dalam satu minggu terakhir, setelah seminggu sebelumnya sempat melandai.
Sementara itu jumlah orang yang dites per 1 juta orang masih rendah yaitu 444 orang.
Sebagai perbandingan Zimbabwe 514 orang dan Swedia 14,705 orang per satu juta orang. Data terakhir, hari Rabu 13 Mei 2020, Indonesia mencatat penambahan kasus Covid-19 harian. Jumlah kasus pada hari Rabu melonjak 42.3 persen dari hari Selasa. Jumlah kasus baru tersebut lebih dari tiga kali lipat rata-rata harian yang sebesar 211 kasus. “Trend” juga masih menunjukkan laju pertumbuhan yang semakin cepat.
Jadi di hari-hari ke depan jangan terkaget-kaget jika kurvanya masih naik, turun, naik, belum stabil dan belum bisa melandai. Semakin banyak hasil tes diketahui akan semakin banyak jumlah yang terinfeksi, kurva akan naik, namun pada titik tertentu akan menurun dan melandai. Angka-angka di atas sudah cukup ‘berbicara’ sendiri bahwa sekarang ini belum terjadi penurunan. Jadi dari data yang ada, alih-alih melonggarkan PSBB, Pemerintah harus mempertimbangkan penerapan PSBB yang lebih ketat.
Harus selalu diingat, bahwa penerapan PSBB yang tidak konsisten, tidak disiplin dan terlalu longgar, selain tidak efektif dalam memutus rantai penularan, juga akan menambah jumlah korban nyawa. Ujung-ujungnya bisa menjadi sebab pembengkakan biaya penanganan krisis.
Seperti sudah diumumkan ke publik, PSBB di Jakarta yang dimulai 10 April 2020, sejak 23 April sudah diperpanjang 28 hari sehingga 25 Mei 2020. Sementara itu, per tanggal 12 Mei 2020 PSBB di Surabaya diperpanjang 14 hari hingga 25 Mei 2020.
Juga beberapa di daerah melakukan perpanjangan PSBB. Ini bagus, karena artinya ada kejujuran dalam membaca data dan memahami perkembangan bahwa jumlah penduduk yang terkena infeksi belum turun. Kejujuran dalam memahami angka-angka itu jelas akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih tepat.
Ada 2 pilihan untuk memperbaiki penerapan kebijakan PSBB. Pertama, dengan memperbaiki strategi pengendalian pergerakan warga dengan sasaran yang lebih kecil dan terseleksi. Kedua, meneruskan kebijakan yang sudah berjalan dengan memperketat penerapannya di lapangan.
Jika kita memilih yang pertama, sebaiknya sekaligus diperbaiki strategi pengendalian pergerakan warga. Target warga yang akan dikendalikan diubah. Kali ini bukan pergerakan warga di seluruh Indonesia, tetapi difokuskan pada 10 kota besar di Indonesia. Atau bila dipandang perlu bisa ditambah kota besar lainnya. Syaratnya kali ini penerapan PSBB harus lebih ketat dan lebih disiplin. Penerapan PSBB di 10 kota ini diperpanjang sekali lagi tetapi harus diterapkan secara serentak.
Adapun 10 Kota besar itu adalah Jabodetabek, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang, Palembang, Padang, Batam, Bandar Lampung. Total penduduk 10 kota besar itu kurang lebih 44,4 juta. Hampir mendekati 20% penduduk Indonesia ( 267 juta).
Artinya PSBB diterapkan pada penduduk perkotaan sebagai prioritas pengendalian pergerakan warga untuk memutus rantai penularan virus.
Mengapa sasaran PSBB sebaiknya penduduk perkotaan? Berikut ini adalah alasannya :
- Penduduk kota lebih padat dari pada penduduk pedesaan. Dengan demikian pencegahan penularan dengan “social distancing” lebih mendesak bagi penduduk kota dari pada warga pedesaan.
- Penduduk kota lebih tinggi mobilitasnya. Sehingga upaya pencegahan penularan virus dengan peraturan tinggal di rumah, lebih mendesak bagi penduduk perkotaan dari pada penduduk pedesaan.
- Secara ekonomi kelompok penduduk perkotaan paling bawah, khususnya pekerja sektor informal, paling rentan terhadap dampak isolasi wilayah atau PSBB, dibandingkan kelompok yang sama di pedesaan. Dengan demikian bantuan sosial sebaiknya diprioritaskan untuk kelompok terdampak Covid 19 di perkotaan. Ini akan lebih tepat sasaran.
Kita tahu alasan pemerintah untuk tidak memilih lokdon, yaitu karena konsekuensi ekonominya besar sekali. Bahkan pilihan PSBB yang sekarang berjalanpun tetap saja biaya penanganannya besar. Terutama jika kita masih terus terpaku pada pemikiran dan asumsi bahwa kita harus mengatur, mengawasi dan mengendalikan pergerakan 267 juta penduduk Indonesia. Atau dengan kata lain melakukan PSBB untuk seluruhIndonesia.
Pilihan penerapan PSBB untuk 10 kota besar di Indonesia, adalah pilihan yang paling masuk akal mengingat keterbatasan dana, sumber daya manusia, rumah sakit dan fasilitas yang kita punya.
Penduduk daerah pedesaan tidak perlu di PSBB kan, karena risiko penularan di antara mereka rendah. Selama kita bisa “mengisolasi’ penduduk perkotaan agar tidak berinteraksi dengan orang pedesaan, maka penduduk pedesaan tidak ada risiko terinfeksi.
Tentu saja kalau ada penduduk daerah pedesaan tertentu yang terbukti terinfeksi baru dilakukan PSBB secara kasus per kasus.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penerapan PSBB 10 kota besar ialah :
- Pemerintah Pusat fokus pada penanganan penduduk 10 kota besar yang jumlahnya 44,4 juta orang. Kelompok penduduk 10 kota ini dikenakan peraturan PSBB ketat. Diberlakukan perpanjangan serentak.Dan setelah itu dilakukan tes masal secara lebih agresif dan lebih cepat. Karena kita berharap ini perpanjangan PSBB yang terakhir.
- Kemudian dari 44,4 juta orang itu, diidentifikasi warga kelompok bawah yang paling terdampak kehilangan penghasilan karena tinggal di rumah. Mereka akan diberikan bantuan sosial.
- Penanganan pencegahan penularan Covid 19 untuk 80% penduduk di luar 10 kota terbesar di Indonesia didelegasikan kepada para gubernur, bupati, walikota masing-masing dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan data yang dikemukakan sebelumnya, mau tidak mau penerapan PSBB yang sudah berjalan selama ini harus diperketat.
Jika tidak ada upaya pengetatan PSBB maka yang akan terjadi adalah perpanjangan PSBB tiada henti.
Akibatnya akan sangat melelahkan jiwa raga semua pihak, baik Pemerintah, warga masyarakat maupun pelaku usaha. PSBB yang terlalu panjang akan membuat biaya krisis ini semakin membengkak.
Di samping itu orang tidak mungkin berlama-lama tinggal di rumah dan tidak menghasilkan barang dan jasa, yang artinya tidak ada penghasilan. Jika orang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan, dia tidak mampu membeli barang-barang kebutuhannya. Akibatnya ekonomi bisa lumpuh.
Dalam beberapa hari ke depan kita akan menyaksikan sebuah “pertarungan” antara para ahli epidemiologi dengan ekonom. Di satu pihak, para epidemiolog akan ‘menekan’ Pemerintah agar tidak terlalu terburu-buru melonggarkan PSBB, sampai periode tertentu di mana kasus yang terinfeksi tidak bertambah lagi. Di pihak lain para ekonom akan ‘menekan’ Pemerintah untuk segera mengakhiri PSBB, supaya ekonomi tidak mati.
Kita harus bijak dan hati-hati mencari keseimbangan, mencari kompromi di antara kedua-dua tekanan itu.
Bagi masyarakat bawah, mereka akan segera sampai pada batas toleransi dan daya tahan. Pilihan mereka adalah : ke luar rumah dan mati karena Covid 19, atau tetap tinggal di rumah dan mati karena kelaparan. Bagi pelaku usaha juga sama, mereka tidak mungkin terlalu lama tidak menjalankan usahanya, tidak ada penghasilan sedangkan pengeluaran jalan terus.
Tanpa ada rencana dari Pemerintah untuk melonggarkan PSBB pun, warga pada akhirnya akan melanggar PSBB.
Kita harus selalu ingat bahwa misi kita dalam menangani krisis akibat pandemi Covid 19 ini adalah menyelamatkan nyawa manusia dan menyelamatkan perekonomian. Ini bukan sebuah pilihan yang bisa dipilih salah satu, atau dikerjakan mana yang lebih dulu. Kedua-duanya harus dilakukan dan harus secara paralel.
Sebagai catatan terakhir, sekali lagi kita harus belajar dari sejarah. Kesalahan dunia menangani pandemi Flu Spanyol jangan kita ulang. Kita harus waspada potensi jumlah korban meninggal yang besar pada saat serangan virus gelombang kedua.
Kehati-hatian ini penting sekali untuk terus diingatkan, karena dari kejadian terakhir mengenai bocornya rencana Pemerintah untuk melonggarkan PSBB, langsung direspon masyarakat dengan sikap dan tindakan ‘melonggarkan diri’ lebih cepat dari rencana Pemerintah itu sendiri. (*)