Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memilih Provinsi Jambi sebagai salah satu tuan rumah perhelatan Seminar Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dan Peluang Perdagangan Karbon di Indonesia pada hari ini, 18 September di Jambi.
Gubernur Jambi, Al Haris, menyebutkan bahwa penunjukkan tuan rumah tersebut dikarenakan Jambi menjadi salah satu provinsi BioCarbon Fund yang ditunjuk oleh World Bank (Bank Dunia) yang berpeluang menghasilkan perdagangan karbon mencapai USD70 juta.
“Jambi ditunjuk sebagai tuan rumah dalam seminar ini ada 5 kota yang ditunjuk dan Jambi dapat juga dari bank dunia di world bank, yaitu biocarbon fund,” ucap Al Haris dalam sambutannya di Jambi.
Baca juga: Siap-Siap Bursa Karbon Akan Berlaku Minggu Depan, Catat Tanggalnya
Berdasarkan penunjukkan tersebut, Jambi telah menyusun beberapa regulasi dalam mendukung perdagangan karbon di Indonesia, dan juga strategi transisi energi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.
“Untuk menyongsong itu semua kami sudah menyiapkan regulasi-regulasi, di antaranya kami dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Provinsi Jambi tahun 2021-2026 yang diintegrasikan dengan pembangunan rendah karbon,” imbuhnya.
Selain itu, Provinsi Jambi juga telah menyusun master plan atau rencana induk peta pertumbuhan ekonomi hijau provinsi Jambi tahun 2021-2045 dan peraturan daerah tahun 2023 tentang rencana pertumbuhan ekonomi hijau atau green growth plan provinsi Jambi.
“Ini kita siapkan semua agar nanti ke depan fondasi ini kita bangun siap dan Insyaallah nanti dengan OJK dengan teman-teman lain, berkolaborasi untuk bagaimana kita bisa menjual karbon kita ini dan punya nilai tawar yg luar biasa, ini kita harapkan,” ujar Al Haris.
Baca juga: BEI Beberkan 4 Mekanisme Perdagangan Bursa Karbon, Apa Saja?
Meski begitu, untuk saat ini Provinsi Jambi masih mengalami suatu tantangan dalam pengelolaan sistem pelaporan perdagangan karbon yang berbeda dengan Bank Dunia, sehingga Provinsi Jambi perlu mempelajari lebih dalam terkait cara penghitungan perdagangan karbon tersebut.
“Karena, pelaporan kita itu yang sedikit berbeda dengan mereka sehingga kalau nanti terjadi itu kita kehilangan USD20 juta, kita berharap tidak ada yg hilang kalau bisa lebih USD70 juta dan nambah lagi itu yang kita harapkan,” tambahnya. (*)
Editor: Galih Pratama