Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI
PERKEMBANGAN ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir (2021-2022) bisa dikatakan mengesankan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia secara kumulatif sepanjang 2021 berhasil tumbuh positif mencapai 3,69%, atau lebih baik dibandingkan dengan 2020 yang mengalami kontraksi 2,07%.
Secara konsisten, ekonomi Indonesia terus tumbuh membaik sehingga pada 2022 lalu mampu tumbuh sebesar 5,31%. Ini merupakan laju tercepat dalam sembilan tahun terakhir. Semua pendorong pertumbuhan utama telah kembali ke level prapandemi.
Ketika Indonesia mampu mengelola pandemi COVID-19 dengan baik melalui program vaksinasi, diperkuat dengan bauran kebijakan ekonomi secara luas (moneter, fiskal, dan keuangan) oleh otoritas yang pre-emptive dan forward looking, semua itu telah berdampak menguntungkan pada momentum pertumbuhan jangka pendek dan menengah.
Kekuatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga domestik (berkisar 4,97%) ditopang oleh pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi langsung sebesar 3,87% dan pertumbuhan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) sebesar 5,64%.
Yang juga menggembirakan, surplus perdagangan internasional tumbuh positif (ekspor tumbuh 16,28% dikurangi impor tumbuh 14,75%) ikut menopang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Surplus neraca perdagangan mencapai US$54,46 miliar, merupakan yang tertinggi yang pernah dicapai.
Dengan demikian, semua komponen pembentuk PDB mencatat pertumbuhan yang positif sehingga membentuk pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,31%. Secara umum BPS mencatat pertumbuhan ekonomi terus menguat, khususnya di Jawa, Sulawesi, serta Maluku dan Papua, sepanjang 2022. Namun demikian, struktur ekonomi Indonesia masih terpusat di Jawa dan Sumatra.
Kalau dilihat dari struktur ekonomi Indonesia, secara spasial masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra. Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa sebesar 5,31% dengan kontribusi hingga 56,48% ke pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara, pertumbuhan ekonomi di Pulau Sumatra sebesar 4,69% dengan kontribusi sebesar 22,04% ke pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi di Pulau Sulawesi mencapai 7,05% dengan kontribusi 7,03% ke pertumbuhan ekonomi nasional. Lalu, pertumbuhan ekonomi di Pulau Kalimantan sebesar 4,94% dengan kontribusi 9,23% ke pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi di Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,08% dan menyumbang ke pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 2,72%.
Membaiknya perekonomian Bali dan Nusa Tenggara didorong oleh melonggarnya kebijakan pengetatan sosial yang mendorong kegiatan ekonomi lokal (terutama di sektor pariwisata) kembali bergairah. Sebelumnya Bali sempat kontraksi di 2021 sebesar 2,08%. Terakhir, pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua mencapai 8,65% dengan sumbangan sebesar 2,5% ke pertumbuhan ekonomi nasional.
Perkembangan data empiris dan historis inilah yang mendasari sejumlah lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 ini berkisar 4,8%-5,3%. Secara konsensus pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini berada di titik tengah 5% yang berarti telah kembali ke rata-rata pertumbuhan selama lima tahun sebelum era pandemi (2015-2019).
Optimisme ini juga ditopang oleh program hilirisasi di berbagai sektor ekonomi (saat ini masih fokus di sektor pertambangan) yang diperkirakan akan menumbuhkan nilai PDB sektoral kian meningkat.
Kilas Balik
Setelah perjalanan bergelombang sepanjang 2020-2021, aliran investasi domestik (penanaman modal dalam negeri atau PMDN) dan asing (penanaman modal asing atau PMA) meningkat tajam pada 2022. Total foreign direct investment (FDI) dari PMA secara khusus melonjak 44,2% secara tahunan (year or year atau yoy), menjadi Rp654,4 triliun atau setara dengan 54,2% dari total investasi langsung.
Sementara itu, nilai investasi PMDN melonjak 23,6% mencapai Rp552,8 triliun atau setara dengan 45,8% dari total investasi langsung yang masuk. Alhasil, total investasi mencapai Rp1.207,2 triliun atau melampaui target yang sebesar Rp1.200 triliun. Capaian ini menarik karena menunjukkan kemampuan pemerintah dalam menggaet investasi asing sehingga mampu melampaui investasi domestik. Kondisi domestik yang relatif stabil dan kondusif menjadi daya tarik investor asing menanamkan modalnya ke Indonesia.
Total investasi untuk 2023 telah ditetapkan sebesar Rp1.400 triliun. Jika menilik realisasi capaian di 2022, target sebesar Rp1.400 terbilang wajar dan logis lantaran kondisi ekonomi dan daya dukungnya terus membaik sehingga memberikan tambahan stimulus bagi investor domestik dan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Arus investasi langsung ke luar Jawa diperkirakan semakin meningkat seiring dengan masifnya program hilirisasi (melalui pembangunan smelter) di sektor pertambangan di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Tujuh belas smelter telah dibangun sejak 2021, dengan pengerjaan 31 lainnya sedang berlangsung. Dari jumlah tersebut, jumlah total proyek dan realisasi investasi tertinggi adalah nikel.
Pembatasan ekspor bijih nikel mentah telah menyebabkan peningkatan tajam dalam pembangunan smelter untuk menghasilkan feronikel olahan dan besi kasar nikel, dengan yang terakhir merupakan bahan utama untuk produksi stainless-steel. Indonesia memiliki kandungan bijih nikel mencapai 11,7 miliar ton dan cadangan 4,5 miliar ton, termasuk nikel kadar rendah (limonite nickel) dan nikel kadar tinggi (saprolite nickel).
Wilayah Sumatra juga diperkirakan mampu menarik investasi langsung karena wilayah ini berlimpah komoditas pertanian, termasuk kelapa sawit, karet, dan kopi. Relatif terjaganya harga komoditas pertanian di pasar global menjadi pendorong utama mengalirnya investasi ke kawasan ini. Program hilirisasi di sektor pertanian juga menjadi stimulus tambahan bagi kegiatan perekonomian di kawasan ini.
Di sektor pertambangan, program hilirisasi yang menjadi mandatori bagi pelaku usaha di sektor ini akan menjadi stimulus tambahan untuk menarik investasi langsung. Salah satunya adalah industri pengumpan utama yang mendapat manfaat dari cadangan nikel, yakni untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV), terutama baterai.
Karena kapasitas terus ditambahkan, Indonesia telah muncul sebagai eksportir stainless-steel terbesar dalam dua tahun terakhir – merupakan perubahan besar dari menjadi importir bersih logam olahan di masa lalu. Belakangan ini muncul kebijakan melarang ekspor bauksit mulai Juni tahun ini guna mendorong kapasitas pemrosesan lokal untuk aluminium.
Mempertimbangkan minat pipa yang cukup dalam industri logam dasar dan pengolahan, momentum untuk FDI Indonesia kemungkinan akan tetap kuat dalam 2-3 tahun ke depan. Hal itu membawa manfaat melalui produksi yang lebih tinggi, keahlian teknis yang lebih baik, meningkatkan rantai nilai, meningkatkan ekosistem bagi pemain manufaktur, dan tumpahan positif pada pekerjaan dan pendapatan.
Penataan ulang strategi pengembangan bisnis badan usaha milik negara (BUMN) akan menjadi faktor penguat daya tahan ekonomi Indonesia. Kontribusi BUMN terhadap perekonomian cukup besar, yakni Rp371 triliun melalui penerimaan pajak, dividen, dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Dikomandani Kementerian BUMN, kini lebih banyak yang telah dilakukan untuk mengubah entitas milik negara ini, di antaranya termasuk pembentukan perusahaan induk (holding company) dan inisiatif restrukturisasi korporsasi dan model bisnis. BUMN kini dikelompokkan menjadi 12 perusahaan induk untuk mendukung prioritas strategis pemerintah, meningkatkan sinergi dan memperkuat kemampuan permodalan/pendanaan mereka.
Beberapa perusahaan induk besar berada di sektor energi, pertambangan, ultra-mikro, perkebunan, farmasi, dan pasokan makanan. Dalam komoditas, untuk meningkatkan rantai nilai di luar smelter, misalnya, pemerintah telah mendorong investasi dalam pembuatan baterai EV. Indonesia Battery Corporation (IBC) dibentuk untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan konsorsium yang melibatkan BUMN seperti MIND ID (perusahaan induk tambang Indonesia), Antam (penambang nikel dan emas), Pertamina (perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia), dan Perusahaan Listrik Negara (distribusi listrik milik negara).
Selain IBC, holding ultra-mikro disebut-sebut sebagai contoh yang baik dari potensi sinergi antar-BUMN di sektor ini (melibatkan Bank Rakyat Indonesia, Permodalan Nasional Madani, dan Pegadaian) terkait dengan prospek pendanaan dan penginian data nasabah untuk menumbuhkan peminjam mikro dari 15 juta pada 2020 menjadi 29 juta pada 2024.
Bersamaan dengan itu, jumlah entitas BUMN juga telah dikurangi menjadi 41 buah pada akhir 2022 dari sebelumnya 113 pada 2019 melalui program restrukturisasi terutama dengan model atau pendekatan rightsizing.
Outlook 2023
Jika sejumlah lembaga memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia tahun ini berkisar 4,8%-5,3% dengan konsensus titik tengah berkisar 5%, rasanya wajar dan masuk akal. Salah satu faktor pendorongnya adalah pengeluaran atau belanja rumah tangga kemungkinan akan tetap normal karena beberapa hambatan menghilang, yang mendorong pembukaan kembali kegiatan ekonomi setelah penerapan pelonggaran pembatasan sosial.
Kegiatan manufaktur atau pabrikasi juga menggeliat, tecermin dari purchasing managers’ index (PMI) Indonesia yang berada di level 51,3 yang berarti ada di zona ekspansi. Dengan demikian, PMI manufaktur Indonesia sudah berada dalam fase ekspansif selama 18 bulan terakhir. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula atau ambang batas (threshold).
Sumber pembiayaan pun relatif memadai, baik dari sektor perbankan maupun pasar modal. Likuiditas perbankan memadai untuk mendorong berlanjutnya ekspansi kredit untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Pada Januari 2023, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap tinggi sebesar 29,13%. Kondisi ini sejalan dengan stance kebijakan likuiditas yang akomodatif oleh BI guna mendukung ketersediaan dana bagi perbankan untuk penyaluran kredit bagi dunia usaha.
Suku bunga kredit masih kondusif mendukung aktivitas sektor riil; di mana suku bunga kredit Januari 2023 lalu tercatat 9,25% atau naik tipis 31 basis points (bps) dibandingkan dengan level Juli 2022. Kondusivitas itu juga didukung kebijakan BI yang memberikan insentif makroprudensial berupa pengurangan giro wajib minimum (GWM) rupiah bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas dan inklusif.
Fungsi intermediasi perbankan masih berlanjut. Terlihat dari pertumbuhan kredit pada Januari 2023 yang mencapai 10,53% (yoy), meskipun sedikit melambat terhadap pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,35% (yoy). Di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pertumbuhan kredit terus berlanjut, khususnya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tumbuh tinggi 29,66% (yoy) selama 2022.
Tingginya kredit didorong oleh sisi permintaan, ditopang permintaan korporasi termasuk UMKM dan konsumsi rumah tangga yang terus membaik. Perkembangan yang baik ini seiring dengan kenaikan keyakinan konsumen domestik.
Survei Konsumen BI pada Januari 2023 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dibandingkan dengan capaian pada bulan sebelumnya dan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hal itu tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Januari 2023 sebesar 123,0, atau lebih tinggi dibandingkan dengan 119,9 pada Desember 2022.
Menguatnya keyakinan konsumen pada Januari 2023 didorong oleh Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang tercatat meningkat pada seluruh komponen pembentuknya, terutama Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU) dan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK). Sementara, Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) saat ini tetap kuat, dengan peningkatan terutama terjadi pada Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK).
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Indonesia pada 2022 dan 2023 ini diperkirakan akan tetap baik-baik saja, di tengah pergumulan negara-negara maju untuk menghindarkan perekonomiannya dari ancaman resesi ekonomi dan krisis energi dan pangan. Sinergi dan harmoni kebijakan moneter, fiskal, dan sektor keuangan yang terus berlanjut untuk mendongkrak level kepercayaan seluruh pelaku ekonomi dan sektor keuangan menjadi kunci meningkatkan resiliensi ekonomi Indonesia.