Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Group
TIDAK ada hujan, tidak ada angin. Semua dilaporkan bahwa kondisi bank baik-baik saja. Kredit bermasalah mencapai titik terendah. Bahkan, loan at risk (LAR) bank yang selama ini menjadi “hantu” juga sudah seperti sebelum COVID-19. Posisi non performing loan (NPL) juga terendah di kawasan ASEAN.
Sementara, hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengatakan sektor keuangan baik-baik saja. Semua stabil dan terkendali. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2024 masih di angka 5,11 persen. Pertumbuhan ekonomi yang di atas 5 persen pasca-COVID-19 toh diyakini pemerintah sebagai capaian luar biasa di tengah penurunan ekonomi global.
Entah siapa yang menjadi pembisik sehingga program restrukturisasi kredit ini diperpanjang setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri mencabutnya di akhir Maret 2024 lalu. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan kebijakan yang mendadak dan di luar perkiraan banyak pihak ini – di mana kondisi perbankan, sektor keuangan, ekonomi, juga moneter dilaporkan ke publik baik-baik saja? Pendek kata “rapornya” biru. Bank-bank mencetak laba jumbo, dan bahkan mencetak rekor laba dalam sejarah perbankan modern.
Presiden Jokowi meminta relaksasi restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 diperpanjang hingga 2025. Semula, kebijakan ini seharusnya berakhir pada Maret 2024 sejak berlaku pertama kali pada Maret 2020 akibat pandemi COVID-19. Menurut Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024), ada arahan Presiden bahwa kredit restrukturisasi akibat COVID-19 itu yang seharusnya jatuh tempo pada Maret 2024 ini, diusulkan untuk mundur sampai dengan 2025.
Menurut Airlangga, perpanjangan relaksasi diperlukan agar perbankan tidak terbebani pencadangan kerugian akibat Kredit Usaha Kecil (KUR) yang gagal bayar. Perpanjangan relaksasi ini, menurut Menko, akan mengurangi beban perbankan untuk mencadangkan kerugian akibat KUR.
Siapa yang dibela Istana? Bank BUMN yang tampak “keren” dengan kehebatan di sektor KUR, atau debitur sontoloyo, atau menjual debitur kecil yang tergabung di KUR? Atau, jangan-jangan ada penumpang gelap, debitur-debitur besar, yang sedang “kelojotan” kekenyangan kredit? Simak saja, menurut data Biro Riset Infobank, NPL UMKM terhadap kredit UMKM Indonesia hanya 3,5 persen. Angka ini paling rendah di seluruh kawasan ASEAN. Jadi, sesungguhnya tidak ada alasan kredit UMKM yang dirisaukan pemerintah.
Semua masih misterius. Paradoks. Tidak masuk akal. Namun, apa pun itu, kebijakan pemerintah ini terasa aneh. Diusulkan secara terbuka, dan tidak melalui mekanisme rapat KSSK terlebih dahulu yang selama ini selalu menegaskan kondisi sektor keuangan dalam keadaan stabil. Perpanjangan program ini tampaknya tidak direncanakan dengan baik di tingkat bawah. Bahkan, OJK sendiri sudah mencabutnya per tanggal 31 Maret 2024.
Tidak terdengar kondisi perbankan sesak napas, karena sering disebut oleh OJK dalam setiap laporan seusai Rapat Dewan Komisioner (RDK) bahwa kondisi perbankan tetap segar bugar dari berbagai sisi, seperti profitabilitas, rentabilitas, permodalan, meski ketat, likuiditas masih ditegaskan baik-baik saja, termasuk NPL (net) hanya 0,81 persen dan NPL (gross) sekitar 2,33 persen (April 2024). Bahkan, LAR perbankan turun tinggal 11,04 persen dari periode sebelumnya (April 2023) yang mencapai 13,88 persen. Jadi, perpanjangan program restrukturisasi ini “pesanan” siapa?
Jujur, program restrukturisasi kredit yang diberlakukan ketika COVID-19 merupakan jalan tengah untuk menyelamatkan bank-bank dari keruntuhan karena kredit macet. Patut dihargai program dari OJK ini. Namun, jika restrukturisasi terus berlarut-larut malah akan menimbulkan moral hazard di dua sisi, yaitu sisi perbankan dan sisi debitur. Di sisi perbankan, karena LAR bisa dikategorikan lancar, bisa saja bank tidak perlu membuat cadangan. Ini logika keliru. Sebab, karena LAR dengan kolektibilitas 1 adalah konsekuensi logis dari relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit.
Di sisi debitur, hal itu bisa menimbulkan moral hazard karena debitur menunda pembayaran (atas nama program relaksasi) atas cost dari bank. Penundaan ini akan mengakibatkan penambahan beban yang bisa menaikkan NPL setelah pencabutan program. Program restrukturisasi kredit ini akan membuat sebagian besar debitur willingness to pay-nya turun meski ekonomi membaik.
Penyelesaian NPL yang berlarut-larut akan membuat peningkatan aset yang diambil alih (AYDA) juga besar. Dan, jika dijual dalam situasi sekarang juga akan terdiskon besar karena pasar juga sedang tidak baik-baik saja. Ini akan merugikan bank. Jadi, ada baik-nya untuk AYDA ini juga perlu direlaksasi, seperti tidak melakukan penalti terhadap AYDA yang terus membesar dan menjadi beban bank. Relaksasi AYDA ini tujuannya agar bank tidak menjual dengan diskon besar.
Jalan lain bagi bank-bank yang melakukan relaksasi ini ialah tidak membabi buta membagikan dividen sebelum seluruh revenue benar-benar menjadi pendapatan. Jadi, pesta laba, bonus, dan tantiem tanpa memperhatikan cadangan harus dihentikan. Jangan lagi ada laba besar tapi mengorbankan cadangan.
Bank-bank yang tampaknya rapor-nya biru dengan laba jumbo ternyata mengandung “bom waktu”. Apa motif membuat laba besar dengan mengurangi cadangan di akhir jabatan? Bisa jadi direksi bank “cap celengan semar” ini ingin mendapat tepuk tangan dari pemegang saham, karyawan, nasabah, dan tentu bonus juga tantiem besar dari hasil laba yang tidak memperhatikan cadangan. Karyawan senang karena bonusnya besar. Bahkan, pemerintah juga happy karena pajak yang dibayar juga besar. Tepuk tangan di mana-mana. Banyak sanjungan dari tujuh penjuru angin.
Bisa jadi ini cara direksi untuk mempertahankan kursi penuh tantiem. Jika itu bank pelat merah, tentu ini perlu dikoreksi oleh pemerintahan baru mendatang. Sudah waktunya kocok ulang bagi direksi yang mencetak laba besar dari “rongsokan” kredit macet dari periode direksi sebelumya — yang tanpa memperhatikan cadangan. Apalagi bank tersebut angka write-off-nya di akhir tahun hampir sepertiga labanya. Bayangkan. Jika angka write-off-nya tidak mendaki, tentu laba yang dihasilkan makin besar.
Bankir jenis itu termasuk bankir “cap celengan semar” – di awal jabatan membentuk cadangan besar dengan “membumi hanguskan” kredit periode sebelumnya. Lalu, di akhir menjelang masa jabatan, dan penghujung pemerintahan tampak mengabaikan cadangan, dan lebih mementingkan pencapaian laba jumbo. Bankir ini bisa jadi akan kena “karma” — jika tidak akan menjabat lagi — karena hampir pasti bankir penggantinya akan menggunakan pola yang sama dengan membentuk “celengan semar” kembali. Satu guru satu ilmu – hanya beda geng bankir saja.
Wajar saja jika kemudian timbul tuduhan bahwa perpanjangan restrukturisasi kredit ini atas “pesanan” pihak tertentu dengan dalih menyelamatkan pengusaha kecil. Tuduhan itu makin kasat mata karena pengumuman perpanjangan restrukturisasi kredit ini langsung terdengar dari Istana Negara. Sementara OJK yang punya kewenangan untuk memperpanjang program restrukturisasi ini sudah memutuskan untuk mengakhiri program restrukturisasi kredit ini selesai pada 31 Maret 2024 lalu.
Perpanjangan program restrukturisasi kredit ini memang masih penuh teka-teki. Apalagi di tengah situasi, seperti yang selalu ditegaskan para penguasa dan pejabat bahwa ekonomi kita baik-baik saja. Rapor biru perbankan ternyata tidak seperti gambaran sebenarnya, karena ternyata pula pemerintah masih menolong dengan perpanjangan program restrukturisasi. Jangan ada penumpang gelap, baik dari sisi perbankan maupun debitur. Waspada moral hazard!