Program Cetak Sawah Gagal Imbangi Alih Fungsi

Program Cetak Sawah Gagal Imbangi Alih Fungsi

Jakarta – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengaku tiap tahun area persawahan terus berkurang. Program cetak sawah Kementan juga belum mampu mengatasinya. Pengecekan melalui citra satelit beserta verifikasi lapangan juga ditujukan untuk mengecek benar-tidaknya klaim Kementan akan realisasi cetak sawah.

BPN menegaskan, untuk mencegah pengurangan lahan memang tidak bisa dilawan dengan program cetak sawah semata. Bahkan, diperkirakan tahun depan lahan sawah di Indonesia bisa berkurang lagi hingga 1,4 juta hektare. Berkurangnya lahan sawah dikarenakan banyak lahan sawah yang ternyata sudah memiliki izin alih fungsi. Ada yang  berubah menjadi mal, ada yang menjadi bangunan lain.

“Ini saja yang dari hasil terbaru 2018 itu kan 7,1 juta hektare ya dari citra satelit. Tapi ke depannya diprediksi bisa berkurang lagi sampai 20 persen. Idealnya memang tiap tahun dicek terus. Alih fungsi ini kan kencang sekali untuk lahan pertanian,” ujar Kasubdit Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian Kementerian ATR/BPN, Vevin S Ardiwijaya, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 4 Desember 2018.

Ke depan, kata dia, Kementerian ATR/BPN tengah fokus menggarap rancangan peraturan presiden guna mempersulit alih fungsi lahan. Pertama, untuk bisa efektif berproduksi, cetak sawah memerlukan waktu yang sangat lama. Di mana lahan sawah baru tersebut diperkirakan baru bisa berfungsi dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan. Jadi, tidak bisa buka sawah lalu bisa produksi 2-3 kali setahun.

“Waktunya lama itu untuk lahan baru bisa sampai 5-10 tahun,” tegas dia.

Diakuinya, saat ini, pihak Kementerian Pertanian sendiri telah mengklaim bahwa program cetak sawah dianggap mampu menghasilkan sekitar 60 ribu hektare sawah baru tiap tahunnya. Dengan program yang dimulai dari tahun 2013 ini, jika dikalkukasi artinya diperkirakan sudah mampu menghasilkan sebanyak 300 ribu ha dalam 5 tahun terakhir. Namun, realisasinya tidak demikian.

Baca juga: Kementan Salah Langkah Terkait Program Tanam Padi dii Rawa

“Tapi itu harus diingat, klaimnya berdasarkan dana yang dikeluarkan Kementan yang dikasih ke petani dan lain-lain. Kasus di lapangan banyak yang tidak sesuai,” paparnya.

Perbedaan luasan sawah baru tersebut karena pihak yang mendapat dana dari Kementan membangun sawah dengan ukuran yang tidak mendetail. Hanya berdasarkan perkiraan. Di sisi lain, banyak juga ditemukan sawah-sawah baru dari program cetak sawah yang posisinya tidak strategis karena jauh dari masyarakat. Di mana sawah sudah tercetak, namun tidak ada petani yang menggarap.

Sementara itu, Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Badan Pusat Statistik (BPS), Hermanto bin Ashari Prawito menyebutkan, berkurangnya luas baku lahan pertanian sejatinya telah terkonfirmasi dari data yang sudah dirilis pemerintah. Data yang didapat juga menggunakan citra satelit, yang menyimpulkan bahwa telah berkurangnya area persawahan.

Dirinya juga berharap, tidak ada pihak yang menggunakan data, diluar data nasional tersebut, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan). “Iya, itu bisa dilihat. Artinya pertahun ada sekitar 120 hektar (lahan pertanian yang hilang). Itu bisa dilihat dari data nasional,” ucap  Hermanto.

Menurutnya, data ini diperoleh dari hasil dari kerja bersama tim nasional verifikasi luas lahan baku lahan sawah. Tim beranggotakan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian ATR/BPN, LAPAN, BPS, dan juga Kementan. BIG memiliki kewenangan untuk membuat peta berbasis spasial, yang diklarifikasi oleh satelit LAPAN, dan dilakukan groundcheck sample. Setelah peta tersebut jadi, kemudian di SK-kan oleh Kementerian ATR/BPN.

Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto juga menegaskan, bahwa pihaknya akan berpegang teguh pada data luas baku sawah terbaru yang diperoleh melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA). Ia pun mempersilakan Kementerian Pertanian jika ingin menghitung luas sawah secara mandiri. Namun, hasil yang keluar dari institusi tersebut tidak akan digunakan sebagai acuan.

“Kami akan tetep mengacu pada data yang memiliki kekuatan hukum yakni yang dihimpun Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang), Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan BIG (Badan Informasi Geospasial),” tambahnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News