Jakarta – Unrealized loss pada portfolio investasi saham BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) berbeda dengan kasus kerugian Jiwasraya. Unrealized loss BPJS TK adalah wajar sebagai risiko wajar dari investasi saham di pasar modal, dan bisa kembali untung saat pasar kembali ke level sebelum pandemi Covid-19.
“Jadi, kerugian yang masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi dan bisa berbalik arah menjadi gain. Untuk itu kasus investasi ini sangat tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana,” kata Roy Sembel, Profesor Keuangan Investasi, IPMI Internasional Business School, di Jakarta, Kamis,11 Maret 2021.
Itulah kesimpulan Roy Sembel atas kajian yang dilakukan secara khusus dan independen mengenai “Kasus Portofolio Saham BPJS Ketenagakerjaan; Unrealized Loss, Bagian Investasi Wajar”.
Latar belakang kajian itu, dalam beberapa bulan terakhir terjadi kegaduhan akibat tuduhan kerugian tidak wajar atau kata-kata yang sering didengungkan ‘kerugian negara’ yang berpotensi pidana pada unrealized loss portofolio saham BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). Kerugian ini lebih lanjut lagi terkesan dipaksakan seolah sama dengan kerugian dalam kasus Jiwasraya.
Lebih jauh, Roy Sembel menjelaskan, dalam laporan ini dilakukan kajian penyebab kerugian investasi portfolio BPJS TK. Analisis konteks situasi, kondisi ekonomi dan pasar modal, proses investasi, alokasi aset, isi portofolio saham, dan perbandingan dengan portfolio investasi Jiwasraya.
“Bukti menunjukan bahwa unrealized loss nya juga naik turun sesuai dengan naik turunnya IHSG. Pada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss mencapai Rp22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021) lalu, unrealized loss nya menurun menjadi Rp14,417 triliun. Atau, 2,91% dari total portofolio Rp495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN. Wajar saja, naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham,” lanjut Roy menjelaskan hubungan naik turunnya unrealized loss dengan naik turunnya IHSG.
Risiko Investasi Wajar
“Temuan dalam kajian soal portofolio saham BPJS-TK ini berbeda dengan kerugian portfolio investasi pada kasus Jiwasraya. Selanjutnya, secara keseluruhan kinerja total portfolio BPJS TK masih positif dan memberikan imbal hasil di atas rata-rata deposito bank pemerintah. Likuiditas BPJS TK masih surplus dan lancar membayar klaim,” kata Roy Sembel sembari menjelaskan selama lima tahun ini BPJS-TK juga sudah menghasilkan pendapatan investasi Rp137 triliun lebih, dan Rp33 triliun bersumber dari saham dan reksadana.
Menurut data portofolio sahamnya pada saham-saham LQ-45. Itu artinya isi portfolio sahamnya dominan terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid. Tidak perlu diragukan lagi tentang saham-saham LQ-45. Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkambangan pasar modal di Indonesia.
Sementara portofolio reksadana, dari data yang ada, investasi di reksadana berada pada level 8,1% pada akhir 2020. Kisarannya selama 5 tahun terakhir berada pada level 7%-9%. Prinsip diversifikasi telah dijalankan dan tetap memenuhi aturan yaitu maksimum 50% dari total porsi dana dan maksimum 15% untuk satu manajer investasi. Proses dan underlying produk reksadana ini jelas dan berbeda dengan yang terjadi di Jiwasraya.
Ada reksadana yang di dalamnya BPJS TK menjadi mayoritas dan investor tunggal. Hal ini bisa terjadi jika ternyata pengelola dana telah menawarkan reksadana secara penawaran umum dan tetap menghasilkan sedikit investor, atau bahkan investor tunggal. Hal ini bisa jadi juga karena fee yang ditetapkan oleh BPJS-TK hanya 1%, karena wajar saja portofolionya besar. Sementara pasar mengenakan fee sebesar 2%-4%.
Situasi ini secara alami bisa terjadi karena tingkat penetrasi finansial dalam perekonomian Indonesia masih relatif rendah di bawah rata-rata ASEAN. Ukuran penetrasi itu biasanya diukur dengan kedalaman finansial yang menggunakan rasio monetisasi dan/atau rasio intermediasi.
Seperti dijelaskan Roy Sembel, profesor keuangan dan investasi dari IPMI Internasional Business School ini menegaskan, hasil kajian menunjukkan bahwa proses investasi portfolio BPJS TK sudah prudent. Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan risiko yang baik. Isi portfolio sahamnya dominan terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid.
Kerugian yang terjadi (yang masih belum direalisasikan atau disebut unrealized loss) masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia (tercermin dari pergerakan IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi. “Ini risiko investasi wajar, apalagi kondisi pasar modal sedang naik turun akibat krisis keuangan global akibat pandemic Covid-19,” tutup Roy Sembel. (*)