Prof J. Soedradjad Djiwandono: Saya Harus Hati-hati Berbicara

Prof J. Soedradjad Djiwandono: Saya Harus Hati-hati Berbicara

KALANGAN ekonom dan bankir senior tentu sangat mengenal sosok J. Soedradjad Djiwandono, yang menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 1993-1998. Setelah “dipecat” dari kursi Gubernur BI oleh Presiden Soeharto gara-gara menutup 16 bank, tiga diantaranya milik keluarga Cendana, Djiwandono aktif di dunia akademisi dan menjadi Guru Besar di Bidang Ekonomi Internasional Nanyang Technology University Singapore sampai sekarang.

Djiwandono sendiri merupakan suami dari Biantinigsih Miderawati, putri dari Begawan Ekonom (Alm) Soemitro Djojohadikusumo. Artinya, Djiwandono adalah kakak ipar dari Prabowo Subianto, Presiden RI Terpilih yang akan menjabat sampai 2029. Maka, peraih PhD dari Boston University pada 1980 ini pun sangat hati-hati ketika menjawab pertanyaan wartawan.

Pada 2 Juli 2024, Djiwandono diundang Infobank Media Group untuk memberikan special lecture di depan ratusan bankir dan ekonom. Dia mengaku harus sangat berhati-hati berbicara.

“Sebelumnya saya ingin terlebih dahulu menyampaikan berbagai butir issue yang semula membuat saya enggan untuk berbicara di sini, karena suasana politik dewasa ini yang mengharuskan saya sangat berhati-hati berbicara di publik, mengingat posisi saya yang kebetulan adalah kakak ipar dari Presiden Terpilih Prabowo Subianto,” ujarnya dalam acara yang dipandu Eko B Supriyanto, Chairman Infobank Media Group ini.

Menurutnya, Prabowo Subianto sedang mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas Kepresidenan nanti, yang dalam bidang ekonomi keuangan membentuk suatu gugus yang terdiri dari suatu team para ahli ekonomi, keuangan, perbankan, dan yang ketuanya dipercayakan kepada seseorang yang kebetulan anak saya, Thomas Djiwandono.

“Ini telah membuat batasan-batasan bagi saya agar tidak membuat pernyataan di muka umum yang bisa disalah tafsir, dan maaf, digoreng, sehingga dapat menimbulkan polemik yang akan menyulitkan kerja team ini. Saya, sebagai seorang tua, akademisi, mengaku menjadi guru dan pendidik dan seorang patriot, saya selalu berupaya menjauhkan diri dari perbuatan yang hanya akan menimbulkan masalah di masyarakat,” jelasnya.

Djiwandono mencontohkan, isu Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program makan bergizi gratis yang dilontarkan kepada saya ketika diundang wawancara di Kompas TV.

“Sebagai seorang ekonom ya jawaban saya berdasarkan perkiraan jumlah pembiayaannya untuk menentukan prioritas. Saya bilang ya makan bergizi gratis yang harus didahulukan. Nah, kontan setelah itu dibeberkan di media sosial bahwa saya menentang pembangunan IKN, apalagi setelah pengunduran diri Ketua dan Wakil Ketua pembangunannya. Padahal satu kata pun dari saya tidak ada yang menyiratkan saya menentangnya. Bahkan ada yang menggoreng lebih lanjut seolah-olah saya berusaha menjauhkan Presiden Terpilih dengan Presiden Jokowi. Kacau kan? lni harus kita hindarkan, apalagi bagi saya. Emangnya siapa saya bisa menggagalkan proyek IKN?,” papar pria yang pernah menjabat Menteri Muda Perdagangan di Era Orde Baru.

Djiwandono menambahkan, pemindahan ibukota bukan barang baru, karena sudah ada usulan agar dipindahkan ke Sentul. Pertimbangannya, tidak jauh, tetapi cukup menyelesaikan masalah semakin masuknya air laut di bawah permukaan Jakarta, sehingga air bersih akan menjadi sangat sukar didapat atau mengebor yang jauh lebih dalam dari sekarang.

“Mengapa tidak ambil pelajaran dari Malaysia dengan pendirian Putrajaya, dan juga tidak mau meniru Burma, membangun Nay Pyi Taw, di tengah hutan yang boleh dikatakan gagal karena sulitnya meminta karyawan yang kerja di pemerintah pindah ke kota baru ini. Saya sangat paham permasalahan ini,” jelasnya.

Sebagai akademisi, Djiwandono enggan membahas permasalahan dan tantangan dalam bidang yang saya geluti, dan hanya bisa menunjukkan pernilaiannya terhadap masalah, tantangan yang ada, dan bagaimana semua itu ditangani untuk kebaikan masyarakat.

“Tapi di sinilah semacam bahayanya, saya tidak bisa menutupi kekurangan yang ada yang saya amati, bukan untuk mempermalukan siapa pun tetapi untuk menunjukkan tantangan yang ada dan memikirkan bagaimana mengatasinya,” katanya.

Tapi kalau ini dilanggar saja bisa membuat masalah yang tidak perlu, yang bisa mengacaukan kerja yang sudah bagus dari team yang diketuai Thomas Djiwandono serta para pejabat terkait, sehingga Djiwandono tidak mengacaukannya.

“Itulah mengapa awalnya saya enggan berbicara di sini, tetapi saya menghadapi Pak Karnoto Mohamad dari Infobank yang pantang menyerah, dan terus mendesak agar saya menerima undangan ini. Jadi saya akhirnya kalah dan hadir di depan bapak-ibu sekalian,” ujar Djiwandono. (*) Red

Related Posts

News Update

Top News