Jakarta – Apakah mungkin menggabungkan akuntansi dengan spiritualitas? “Jawabnya sangatlah mungkin,” demikian jawaban Prof. Dr. Istianingsih Sastrodiharjo, SE, MS.Ak. dalam pengukuhan dan orasi ilmiah jabatan Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Selasa, 18 Juli 2023.
Dalam kehidupan ekonomi dan spiritual, menurut Istianingsih, terdapat pandangan yang berbeda. Beberapa orang meyakini bahwa ekonomi, termasuk akuntansi, dan kehidupan keagamaan atau spiritualitas adalah dua hal yang terpisah. Ada pemisahan terminologi yang digunakan, yaitu bahwa akuntansi merupakan urusan pasar. Sementara agama adalah urusan altar.
“Pasar diidentifikasi dengan dunia profan, sekuler, dan rasionalitas. Sedangkan agama atau spiritualitas diidentifikasi kesucian, keimanan dan ketuhanan.” kata Istianingsih saat orasi ilmiah dalam pengukuhan Guru Besar bidang Ilmu Akuntansi Kontemporer.
Istianingsih menegaskan, pandangan dan gagasan Karl Mark (1844) bahwa agama akan ditinggalkan oleh orang orang ketika masyarakat semakin maju.
Namun, setelah ratusan tahun sejak gagasan Mark diungkapkan dan masyarakat semakin maju, agama ternyata tidak ditinggalkan. Oleh karena itu, dalam era post modernisme ini, kita perlu berpikir ulang apakah memandang keberhasilan bisnis sebagai sesuatu yang terkait dengan tingkat spiritualitas seseorang.
Baca juga: UU PPSK Dorong Peran Profesi Akuntan
“Peran agama dalam perubahan ekonomi masyatakat tidak dapat diabaikan,” tegasnya.
Orasi Ilmiah berjudul “Melampaui Batas Material: Memaknai Kekuatan Spritulialitas Dalam Transformasi Akuntansi Keuangan Kontemporer,” ini pada intinya, seperti ditegaskan Istiningsih, teori ekonomi modern menunjukan bahwa akuntansi harus senantiasa disertai dengan spiritualitas.
”Itu agar tidak terjerumus dalam godaan demi keuntungan dan uang semata yang dapat membawa kehampaan dalam kehidupan manusia,” ungkap Istiningsih.
Lebih lanjut, Istiningsingsih yakin, ketika akuntan mengintegrasikan nilai-nilai spiritualitas, mereka dapat melampui batas-batas materi dan fokus pada tujuan yang lebih tinggi, seperti integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Pentingnya menggabungkan akuntansi dengan spiritualitas juga tercermin dalam praktek bisnis yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. ”Dengan mengadopsi spriritualitas dan akuntansi, perusahaan dapat mengarahkan kegiatan bisnis mereka untuk memberikan kontribusi positif bagi massyarakat dan lingkungan, bukan hanya fokus pada profit semata,” paparnya.
Menurut Istiningsih, dunia yang serba materialistik, mengadopsi spiritulitas dalam akuntansi membawa dampak positif dalam memelihara integritas, moralitas, dan keberlanjutan. “Akuntansi yang didasarkan pada spiritualitas bukan hanya tentang angka-angka, tapi juga tentang keberkahan dan pelayanan kepasa sesama,” tegas Istianingsih.
Dalam era global saat ini, dapat menemukan individu yang hidup dengen kehidupan spiritual yang kaya tidak hanya di tempat ibadah keagaaman, tetapi juga dunia bisnis. Semisal, Dr. Gay Hendricks dan Dr. Kate Ludeman (2002) dalam bukunya, The Corporate Mystic: Berbisnis dengan Hati. Mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai spiritual dan menerapkan etika tersebut dalam praktek bisnis mereka. Dan, mereka memiliki visi yang kuat dan keseimbangan antara dunia spiritual dan dunia bisnis nyata.
”Ini memastikan bahwa kegiatan akuntansi dilakukan dengan hati yang tulus, menjaga keseimbangan antara kepentingan materi dan nilai nilai moral yang lebih mendalam,” tambah Prof. Dr. Istianingsih, SE, MS.Ak dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Prof. Dr. Istianingsih, SE, MS. Ak, merupakan profesor pertama yang dilahirkan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Di samping itu, Istinianingsih memperoleh promosi dari Lektor 200 ke guru besar 922. Ia merupakan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bhayangkara Jaya (2019-2023). Istianingsih juga pengurus ISEI Jaya. (*)