Jakarta – Meningkatnya permintaan global akan bahan bakar nabati atau biofuel berbasis minyak sawit berpotensi berpengaruh pada pasokan crude palm oil/CPO yang dibutuhkan untuk produksi minyak goreng di Indonesia.
“Adanya peningkatan pangsa produksi CPO untuk bahan bakar nabati sebesar 24% dari tahun 2019 hingga 2020, akan mengakibatkan penurunan pangsa CPO yang diolah menjadi komoditas pangan seperti minyak goreng di Indonesia,” jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta pada keterangannya, 6 April 2022.
Indonesia kini menerapkan kebijakan keharusan mencampurkan minyak diesel dengan 30 persen bahan berdasar minyak sawit (B30). Program yang dilaksanakan sejak Januari 2020 tersebut mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% solar untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar impor dan mendorong peralihan ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Data Kementerian ESDM menunjukkan, realisasi B30 adalah 9,3 juta kiloliter dengan sekitar 14% produksi minyak sawit Indonesia dialokasikan untuk biodiesel di 2021.
Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 12/2015 ini berjalan dengan adanya jaminan pemerintah dan subsidi jika harga domestik lebih rendah daripada harga internasional. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan produsen kelapa sawit cenderung mendistribusikan CPO untuk produksi biodiesel.
Produksi CPO di Indonesia menunjukkan kecenderungan penurunan sejak tahun 2019. Produksi kembali turun di 2021 sebesar 0,9% menjadi 46,89 juta ton. Laporan Outlook 2022 Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) menunjukkan stok akhir CPO di Indonesia tahun 2021 berada dibawah tingkat rata-rata 4 juta ton.
Data kebutuhan CPO untuk produksi biofuel dapat dilihat dari jumlah konsumsi CPO untuk biofuel. Antara 2019-2021, produksi CPO untuk biofuel meningkat dari 5,83 juta ton menjadi 7,38 juta ton. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat pada 2022 seiring dengan meningkatnya konsumsi biodiesel yang diperkirakan GAPKI berjumlah 8,83 juta ton.
Minyak goreng di Indonesia umumnya dihasilkan dari CPO yang harganya berkorelasi langsung dengan harga CPO internasional. Sepanjang 2021, harga CPO internasional naik 36,3% dibandingkan 2020 dan hingga Januari 2022, sudah mencapai Rp15.000/ kilogram.
Indeks Bulanan Rumah Tangga (Indeks BuRT) CIPS menunjukkan, pada Maret, harga minyak goreng di Jakarta naik 32,18% menjadi Rp18.505/liter dari Rp14.000/liter pada Februari 2022. Terdapat peningkatan sebesar 39,69% dari Rp13.247/liter dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun lalu.
Selain itu, tingginya harga disebabkan oleh kekurangan pasokan di tengah meningkatnya permintaan di banyak bagian dunia karena belum pulihnya ekonomi akibat gelombang kedua Covid-19. Invasi Rusia ke Ukraina semakin menambah ketidakpastian kondisi minyak dan perekonomian dunia secara umum.
Sementara itu, kelangkaan pasokan di dalam negeri disebabkan oleh penurunan produktivitas perkebunan sawit milik BUMN, swasta dan petani kecil di kedua negara produsen utama minyak sawit dunia, yaitu Indonesia dan Malaysia, yang setidaknya menyumbangkan 85% dari pasokan global.
“Peningkatan produktivitas melalui perbaikan pengelolaan sumber daya dan adopsi praktik pertanian yang baik dan berkelanjutan menjadi kunci dalam pemenuhan permintaan minyak sawit dunia yang diprediksi akan meningkat sebesar 6,5% pada tahun 2022. Permintaan minyak sawit yang diolah menjadi minyak goreng untuk konsumsi rumah tangga juga diperkirakan meningkat,” terang Felippa. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra