Surabaya – Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama muslim, menjadi target utama bagi produk fesyen dari negara lain. Padahal, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan peluang tersebut dengan memproduksi produk fesyen muslim sendiri. Namun, kenyataannya, Indonesia belum menjadi pemain utama di sektor tersebut.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Rosmaya Hadi di Surabaya, Selasa, 11 Desember 2018 mengatakan, negara produsen produk fesyen muslim global kebanyakan berasal dari negara yang mayoritas penduduknya non-muslim seperti Singapura, China, Italia, serta Prancis yang turut memanfaatkan potensi pasar fesyen muslim di Indonesia.
Menurutnya, negara-negara tersebut masuk ke industri fesyen muslim melalui merek-merek internasional, seperti Dolce and Gabbana, Michael Kors, Mark and Spencer, hingga H&M. “Padahal menurut BPS, bidang usaha fesyen menyumbang 18,01 persen terhadap PDB. Tapi kita tak bisa berpuas diri dan lengah seketika. Kita masih menjadi target pasar dari produk fesyen muslim,” ujarnya.
Masih sulitnya Indonesia menjadi produsen produk fesyen muslim, kata dia, lantaran sektor tekstil yang belum bisa seluruhnya mandiri. Produk bahan baku tekstil masih kebanyakan berasal dari impor. Berdasarkan data Bea dan Cukai September 2018, produk serat masih menyumbang defisit neraca perdagangan sebesar US$1,32 miliar dan benang menyumbang defisit USD 2,45 miliar.
“Hal itu mengindikasikan bahwa rantai nilai industri tekstil nasional masih belum optimal dari sisi dukungan industri hulu terhadap industri hilir,” jelasnya.
Dia melanjutkan, industri hulu tekstil yang berorientasi ekspor rata-rata hanya 30 persen. Sementara industri hilir dirasa belum mampu berorientasi ekspor karena konten impornya mencapai 45 persen. “Ini adalah gambaran bahwa tantangan ke depan bagi industri fesyen muslim Tanah Air tak akan semakin mudah,” paparnya.
Untuk itu, kata dia, BI mendukung para produsen tekstil di Indonesia untuk menerapkan strategi penguatan rantai nilai halal atau halal value chain. Artinya, seluruh kegiatan entitas yang terlibat sepanjang rantai pasok dari hulu ke hilir menerapkan konsep yang sesuai syariat Islam, dimulai dari pemilihan pemasok, proses produksi, penyimpanan, sampai dengan distribusi atau memisahkan penyimpanan dan pengiriman produk halal agar terhindar dari kontaminasi.
“BI memulainya dari proses pemetaan, identifikasi, serta pengembangan dan pembangunan modal usaha dan bisnis yang terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk halal value chain ini,” tutupnya. (*)