Preseden Buruk! Pj Gubernur Aceh Non Aktifkan Sementara Dirut dan Direktur Bank Aceh Tanpa RUPS

Preseden Buruk! Pj Gubernur Aceh Non Aktifkan Sementara Dirut dan Direktur Bank Aceh Tanpa RUPS

Oleh: Tim Infobank

DIREKTUR Utama (Dirut)  dan Direktur Operasional Bank Aceh Syariah dinonaktifkan sementara oleh Pj Gubernur Aceh. Penonaktifan sementara ini jelas menimbulkan banyak pertanyaan, karena tidak lazim dalam tata kelola Perseroan Terbatas, seperti Bank Aceh Syariah. Keputusan penonaktifkan ini menjadi preseden buruk bagi direksi Bank Pembangunan Daerah (BPD) di seluruh Indonesia yang ada Pj Gubernur.

Bahkan, keputusan Pj Gubernur Aceh ini bertentangan dengan POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum. Jelas, POJK itu menyebutkan, setiap pergantian dan pemberhentian direktur utama dan direktur kepatuhan sebelum masa tugasnya berakhir harus mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sejalan dengan itu,  pihak OJK, seperti dalam kewenanganya pun bisa melakukan tindakan korektif dan evaluasi. Jadi OJK bisa menganulir keputusan Pj Gubernur Aceh tentang penonaktifkan sementara, apalagi tanpa melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang menjadi dasar setiap pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris. Pertanyaannya; apakah OJK berani melakukan tindakan korektif ini?

Menurut Surat Keputusan Gubernur Aceh selaku pemegang saham pengendali PT Bank Aceh Syariah Nomer 500/681/2024 tentang Penonaktifan sementara Saudara Muhammad Syah sebagai Direktur Utama Periode 2023-2027 sampai dengan diselenggarakan RUPS paling lambat 30 hari setelah Keputusan Gubernur tertanggal 5 April 2024. Itu artinya RUPS baru akan diselenggarakan paling lambat tanggal 5 Mei 2024. Hal yang sama juga berlaku bagi  Zulkarnaini, direktur operasional Bank Aceh Syariah.

Tidak ada alasan yang menyangkut kinerja. Lazimnya, pemberhentian seorang direksi yang belum habis masa tugasnya diatur dalam anggaran dasar, seperti kinerja keuangan yang menurun, tersangkut masalah hukum dan melakukan fraud. Menurut catatan Infobank Institute, tiga hal itu tidak terjadi.

Bahkan, data Biro Riset InfoBank, kinerja Bank Aceh selama tahun 2023 relatif masih tumbuh dengan kualitas yang baik seperti terlihat dalam nonperforming finance (NPF) terjaga pada posisi 0,24% (net) dan 1,28% (gross). Pencapaian laba turun tipis dari Rp436,72 miliar di tahun 2022 lalu menjadi Rp430,2 miliar, atau turun tipis 1,49%. Hal yang menggembirakan Bank Aceh tetap berperan dalam peningkatan pembiayaan sebesar 7,82% menjadi Rp18,68 triliun.

Jadi bukan masalah kinerja keuangan sehingga terjadi penonaktifan direktur utama dan direktur operasional. Lalu apa alasannya yang menjadi dasar? Satu, berdasarkan surat  Kepala OJK Provinsi Aceh Nomer SR-10/KO.1502/2024 tanggal 10 Januari 2024 dikenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis sebagaimana diatur dalam pasal 70 ayat (1) POJK Nomor 16/POJK.03/2022 tentang Bank Umum Syariah dan pasal 59 ayat (1) POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum.

Pertimbangan kedua, yang tertulis dalam SK Gubernur Aceh, berdasarkan kelalaian Muhammad Syah sebagai direktur utama, karena ada sanksi administrasi OJK, Provinsi Aceh. Sanksi itu antara lain; penerbitan produk baru, larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha dan larangan melakukan kegiatan usaha baru.

Sanksi adminitrasi yang dijatuhkan OJK tak lain karena belum terpenuhi  jumlah komisaris Bank Aceh (pasal 53 ayat (1) POJK Badan Usaha Syariah (BUS) dan pasal 35 ayat (1) POJK GCG Bank Umum. Hal ini tentu juga menjadi pertanyaan, penentuan komisaris bukanlah kewenangan direktur utama namun menjadi wilayah pemegang saham. Pendek kata pihak OJK berhak melakukan sanksi administrasi yang diatur dalam pasal 59 POJK (ayat 2) tentang Good Corporate Governance (GCG).

Inti soal Bank Aceh ini tak lain karena belum ada kelengkapan komisaris dan diminta untuk segera mengisi posisi komisaris. Bukannya tidak dilakukan usulan tentang posisi komisaris baru OJK, tanggal 1 Maret 2024 sudah diusulkan kembali. Namun pada tanggal 15 Maret 2024 Pj Gubernur Aceh (Bustami) meminta direktur utama untuk membatalkan. Lalu, tanggal 20 Maret 2024, Pj Gubernur mengusulkan tiga nama baru untuk posisi komisaris.

Itulah yang menjadi dasar penonaktifan sementara posisi direktur utama yang baru menjabat selama 13 bulan dan akan berakhir di Maret 2027, dan lebih tragis lagi posisi direktur operasional, Zulkarnaini yang baru menjabat sejak Agustus 2023 (8 bulan). Apalagi, langkah nonaktif ini tidak lazim dilakukan oleh Perseroan Terbatas. Soal pemberhentian dan pengangkatan dilakukan oleh RUPS. Dan, POJK 17 Tahun 2023 menjadi POJK “pasang badan” untuk melindungi kelanjutan dan pertumbuhan bank-bank umum.

Harapannya, OJK bisa lebih jernih melihat masalah “copot mencopot” yang dilakukan oleh para Pj Gubernur di seluruh Indonesia yang akan berakhir pada November 2024. Penonaktifan sementara Dirut Bank Aceh dan Direktur Operasional sebelum masa tugas berakhir “hanya” karena belum lengkapnnya jumlah komisaris ini menjadi “preseden buruk” bagi BPD di seluruh Indonesia.

Dan, harusnya OJK bisa melakukan tindakan korektif, pun OJK tidak larut dalam politik yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia yang sedang bersiap memilih Gubernur, karena OJK itu independen. POJK 17 Tahun 2023 sedang mendapat ujian. (*)

Related Posts

News Update

Top News