Oleh Chandra Bagus Sulistyo
Penulis adalah Business Incubation & Stakeholder Management Departement Head – Division Business Program BNI dan penulis buku “Strategi Jitu Bank dan UMKM Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional (2023)”
KALANGAN dunia usaha industri kopi nasional menaruh asa yang cukup tinggi pada pemerintahan periode 2024-2029 untuk dapat mendorong Indonesia sebagai pengahasil kopi terbesar di dunia. Banyak harapan digantungkan industri kopi nasional dari para kandidat Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) tersebut terutama keberpihakan pada perkebunan kopi rakyat di Tanah Air.
Perkebunan kopi rakyat adalah perkebunan kopi yang dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Perkebunan kopi rakyat biasanya memiliki luas lahan yang tidak terlalu luas, maksimal 25 Ha serta pengolahan tanaman yang memiliki jumlah tanaman lebih dari batas minimum usaha (BMU). Perkebunan kopi rakyat tidak memiliki badan hukum. Produktivitas perkebunan kopi rakyat yang rendah disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang baik, permodalan terbatas, serta rendahnya penggunaan penerapan teknologi.
Mengapa (Harus) Perkebunan Kopi Rakyat?
Data menyebutkan bahwa produktivitas kopi di Indonesia sebesar 686 ribu ton masih dikuasai oleh perkebunan rakyat sebesar 96,1%, kemudian diikuti 2,1% kebun kopi swasta, dan terakhir yang dikelola kebun kopi negara sebesar 1,8%. Hal ini menjadi fokus bagi pemerintah untuk terus bisa meningkatkan kesejahteraan Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM (petani) melalui peningkatan produktivitas dan kualitas biji kopi rakyat. Geliat industri kopi yang marak di seluruh penjuru nusantara, menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah serta stakeholders terkait untuk dapat meningkatkan budidaya kopi rakyat karena penguasaan kebun yang sangat signifikan secara total perkebunan kopi nasional.
Baca juga: Survei Terbaru: Mayoritas Mahasiswa Cenderung Menerima Uang Tapi Tak Mau Pilih Kandidat Caleg atau Capres
Menurut data International Coffee Organization menyebutkan bahwa penghasil kopi terbanyak saat ini masih dikuasai Brazil dengan volume 3,5 juta ton, diikuti Vietnam 1,8 juta ton, Kolombia 846 ribu ton, dan urutan keempat adalah Indonesia yang menghasilkan 686 ribu ton. Potensi kebutuhan bisnis kopi pasar domestik akan kian bertambah, diperkirakan konsumsi kopi tahun 2023 sebesar 1,97 ribu gram/kapita/tahun, dan 2025 akan meningkat menjadi 2,32 ribu gram/kapita/tahun. Dimana kebutuhan konsumsi domestik sebesar 41% dan untuk kebutuhan konsumsi ekspor sebesar 59%. Indonesia juga terus mendorong peningkatan produktivitas kopi guna memenuhi kenaikan permintaan tahun yang akan datang. Menurut estimasi, 2023 produksi kopi Indonesia sebesar 0,77 ton/ha dan terus meningkat produksinya 2025 sebesar 1,32 ton/ha.
Berdasar data United States Department of Agriculture/USDA dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan bahwa Indonesia menyumbang 6,6% produksi kopi dunia. Total produksi kopi Indonesia per Desember 2022 sebesar 11,4 juta (per kantong 60 kg), dimana produksi arabika sebesar 1,4 juta kantong dan robusta sebesar 10 juta kantong. Sedangkan luas panen perkebunan kopi nasional sebesar 1.837 ribu ha. Oleh karena itu, untuk mendukung pengembangan kopi rakyat Indonesia berkelanjutan dan berdaya saing, Indonesia perlu segera berbenah agar dapat menciptakan ekosistem industri kopi dari hulu (on farm) hingga hilir (off farm).
Selain peluang di atas, terdapat beberapa pekerjaan rumah (PR) bagi Capres/Cawapres berupa pembentukan ekosistem kopi rakyat di negeri ini, sebagai bentuk keberpihakan pada industri kopi yang nyata. Adapun permasalahan kopi rakyat sudah dimulai dari on farm, pasca panen hingga pemasaran. Ketika bicara budidaya kopi di on farm, muncul kendala seperti; tanaman kopi sudah banyak yang tua serta tidak produktif, peremajaan dilakukan terlambat, bibit tidak klonal, produktivitas rendah, pemeliharaannya kurang, teknologi terbatas, perubahan iklim, kurang akses permodalan.
Permasalahan tidak muncul di on farm saja, pasca panen juga banyak yang harus dibenahi, yaitu; fasilitas pengolahan terbatas, penjemuran kopi tidak sempurna, pengolahan kopi secara tradisional, pengetahuan pasca panen terbatas, tidak ada sertifikasi dan kualitas kopi rendah. Tahap pemasaran juga perlu diperbaiki, misalnya; terkait kurangnya pengembangan kopi industri, rantai penjualan panjang, kualitas tidak terjaga, dan pasokan tidak stabil.
Melihat berbagai tantangan tersebut, pemerintah memerlukan program strategik jitu dengan melibatkan berbagai stakeholders baik itu di BUMN maupun swasta untuk memperbaiki ekosistem kopi nasional. Langkahnya, melalui; pengelolaan budidaya tanaman kopi berkelanjutan, mempermudah akses permodalan, pendampingan budidaya pertanian, digitalisasi dan optimalisasi millennial smartfarming, hilirisasi industri kopi, dan farm to market partnership.
Menciptakan Hilirisasi Industri Kopi Rakyat
Pertama, pengelolaan budidaya tanaman kopi berkelanjutan. Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah melakukan pengelolan budidaya tanaman kopi secara baik dan benar. Dimulai dari mencari bibit varietas unggul, analisa tanah beserta rekomendasi pemupukan, pemberian jarak antar tanaman, serta memberi pohon tegakkan atau pelindung agar kualitas kopi terjaga.
Kedua, mempermudah akses modal. Melibatkan lembaga keuangan baik bank maupun nonbank untuk dapat memberikan modal pembiayaan kepada petani kopi (rakyat), baik itu untuk; modal tanaman kopi baru (tanaman belum menghasilkan/TBM) dan tanaman pemeliharaan (tanaman menghasilkan/TM). Produk perbankan menggunakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau kredit komersial. Untuk pembayaran angsuran dan bunga disesuaikan dengan model bisnis dari komoditas yaitu menggunakan pola yarnen (pembayaran setelah panen kopi ataupun pembayaran angsuran dan bunganya), sehingga tidak memberatkan petani kopi.
Ketiga, pendampingan budidaya pertanian. Melalui; pendampingan budidaya pertanian oleh penyuluh ataupun agronomis, pemberdayaan petani atau Sumber Daya Alam/SDA serta validasi calon petani dan calon lokasi/CPCL. Keempat, digitalisasi dan optimalisasi millennial smartfarming. Ke depan, pertanian Indonesia tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama yang tradisional, sifatnya rutinitas, hanya berdasar insting, bekerja secara sendiri-sendiri, dan masih menggunakan alat tradisional. Jika hal itu terus dilakukan, sampai kapanpun pertanian Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan negara-negara tertangga (seperti; Malaysia, Thailand, dan Vietnam) yang melibatkan teknologi dalam mengembangkan pertanian modern.
Baca juga: INDEF Ungkap PR Berat Capres-Cawapres Tekan Angka Kemiskinan RI
Dibutuhkan keterlibatan peran millennial menginisiasi sektor pertanian nasional. Harapannya millennial tidak hanya sebagai petani kopi rakyat, tapi mereka mampu berperan menjadi keyplayer sebagai; aggregator, offtaker, bahkan sebagai owner dari korporasi industri kopi yang ada di daerahnya masing-masing.
Kelima, hilirisasi industri kopi. Indonesia memiliki peluang besar meningkatkan nilai tambah komoditas kopi melalui program hilirisasi. Perlu kreativitas dan inovasi agar produk memiliki citra rasa kopi yang diminati pasar. Kementan telah meningkatkan target hilirisasi produk kopi rakyat Indonesia sebesar 15–20% di tahun 2023.
Dan keenam, farm to market partnership. Sinergi dan kolaborasi dapat memberikan pemberdayaan, pembinaan, kelengkapan infrastruktur memadai, dukungan inovasi, serta diperlukan pembangunan pertanian Indonesia secara masif, terstruktur, serta terintegrasi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, ujungnya dapat memberikan petani berupa value added serta meningkatkan kesejahteraan petani kopi rakyat Indonesia.
Harapannya, untuk meningkatkan produktivitas kopi rakyat, Capres/Cawapres 2024-2029 harus mampu mewujudkan program komprehensif (kebijakan, riset dan pengembangan, industrialisasi, dan akses pasar) dengan memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan dalam menciptakan pembangunan ekosistem secara berkelanjutan. Mimpinya adalah aroma kopi jejak khatulistiwa yang terseduh se-antero dunia. Semoga.