Jakarta – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, hingga semester I-2024 tercatat adanya transaksi perputaran uang mencapai Rp127,37 miliar. Jumlah tersebut diduga hasil dari prostitusi anak yang berjumlah sekitar 24 ribu anak, dengan frekuensi transaksi mencapai 130 ribu.
Koordinator Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK, M. Natsir Kongah mengatakan, transaksi perputaran uang dari dugaan hasil prostitusi anak tersebut dilakukan melalui platform-platform jasa keuangan, seperti e-wallet hingga Bitcoin.
“Penggunaan transfer dana tadi penggunaan platform-platform seperti Bitcoin Itu kita temukan, penggunaan e-commerce, lalu penggunaan e-wallet, OVO, GoPay, dan lain-lain itu kita temukan Itu yang banyak digunakan di dalam transaksi pembayaran dari eksploitasi seks terhadap anak ini jadi begitu ya,” ucap Natsir dalam Konferensi Pers ACOSEC di Bali, 7 Agustus 2024.
Baca juga : PPATK: 197.054 Anak-anak Terlibat Judi Online, Transaksi Tembus Rp293,4 Miliar
Natsir menjelaskan, angka tersebut didapat dari dua analisis terkait dengan eksploitasi seksual anak, di mana pada tahun 2021 terdapat 34 hasil analisis, sementara pada tahun 2023 terdapat dua hasil analisis.
“Dari dua hasil analisis, yang terkait dengan pelindungan anak pornografi, perdagangan orang, kemudian ada informasi dan transaksi elektronik child sex, eksploitasi atau kejahatan lintas batas negara,” imbuhnya.
Dalam hal ini, PPATK telah mewajibkan para penyedia jasa keuangan, seperti bank, asuransi, maupun pasar modal, untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM), jika terindikasi adanya transaksi untuk kejahatan seksual terhadap anak.
Baca juga : Ditanya Soal Sosok Pengendali Judol Inisial T, Bos PPATK: Inisial-Inisialnya Luar Biasa Banyak
“Bila ketika ada indikasi kejahatan terhadap seksual anak ini PJK, termasuk bank Itu wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. Nah, kemudian misalnya ekspert Indonesia memberikan informasi kepada PPATK ada eksploitasi dan lain-lain. Nah, kami bisa meminta kepada penyedia jasa keuangan untuk menyampaikan laporan dan PPATK punya kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap transaksi dari kasus-kasus tertentu,” ujar Natsir.
Adapun, kewajiban penyampaian LTKM oleh penyedia jasa keuangan tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2020 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, di mana pada pasal 2 menyebutkan ada 26 tindak pidana di antaranya korupsi, ilegal minning, hingga kejahatan di bidang prostitusi. (*)
Editor : Galih Pratama