PP Nomor 54 Tahun 2017: Mengembalikan BPD ke “Zaman Primitif”

PP Nomor 54 Tahun 2017: Mengembalikan BPD ke “Zaman Primitif”

Oleh: Eko B Supriyanto

HARI-HARI ini kalangan bank pembangunan daerah (BPD) tampak gelisah. Bukan lantaran kinerja keuangan BPD, melainkan menyangkut hal yang paling dasar dalam pengelolaan BPD ke depan. Pengelolaan BPD yang notabene adalah bank disamakan dengan badan usaha milik daerah (BUMD) lainnya. Beleid baru ini akan mengerdilkan BPD. Ibaratnya BPD akan masuk kandang kasir pemerintah daerah (pemda) dan menjadi terisolasi kembali. Mengapa OJK hanya diam saja atas PP yang mengebiri BPD ini?

Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD itulah yang membuat gelisah sebagian besar direksi dan komisaris BPD. Beleid turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 ini menjadi dasar hukum baru bagi BUMD, termasuk di dalamnya BPD—yang jujur saja banyak berbenturan dengan asas-asas pengelolaan bank yang disyaratkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Beleid baru yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2017 ini berisi 17 bab dan 141 pasal. Dalam aturan baru saat ini, bentuk BUMD nantinya ada dua, yaitu perusahaan umum daerah dan perseroan daerah (perseroda). Perusahaan umum daerah merupakan BUMD yang modalnya dimiliki satu daerah dan tidak terbagi atas saham. Sementara, perseroda modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% dimiliki oleh satu daerah. Perseroda ini bisa dimiliki lebih dari satu daerah.

Di bagian dua pasal 7 disebutkan, pendirian BUMD bertujuan untuk memberi manfaat bagi pengembangan perekonomian daerah, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memperolah laba atau keuntungan. Dasar dari pendirian BUMD ini dalam bunyi pasal 9 adalah kebutuhan daerah dan kelayakan bidang usaha yang akan dibentuk. Semua dilaksanakan dengan tata kelola yang baik.

Inti dari semua itu tak lain memberi mandat kepada kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi penyertaan modal, subsidi, penugasan, penggunaan hasil pengelolaan kekayaan, serta pembinaan dan pengawasan.

Lalu, apa yang jadi soal bagi BPD? Satu, soal kepemilikan saham yang harus 51% (pasal 5, ayat 2). Sementara, dalam POJK 56/POJK 03/2016 tentang Kepemilikan Bank Umum disebutkan bahwa batas maksimum kepemilikan saham pada bank (pasal 2, ayat 2) bagi setiap kategori pemegang saham ditetapkan sebagai berikut: (a) 40% dari modal bank untuk badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank; (b) 30% untuk badan hukum bukan lembaga keuangan; dan (c) 20% untuk perorangan.

Lebih celaka lagi, berdasarkan pasal 14 POJK tersebut, pemda yang telah memiliki saham BPD dapat menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham. Artinya, POJK bertubrukan langsung dengan PP Nomor 54/2017. POJK bilang sampai dengan 30% untuk lembaga nonkeuangan (pemda), sementara PP bilang harus 51%.

Tidak hanya itu. Berdasarkan pasal 30, setiap orang dalam pengurusan BUMD dalam satu daerah dilarang memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga berdasarkan garis lurus ke atas, ke bawah, atau ke samping, termasuk hubungan yang timbul karena perkawinan. Sementara, pasal 8 POJK No. 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum mengatakan, mayoritas anggota direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota direksi dan/atau dengan anggota dewan komisaris. Bagaimana jika kakak adik satu di BPD dan satu di PDAM?

Hal lain juga dalam pemilihan anggota direksi dan komisaris. Benturan antara PP dan POJK terasa sekali. PP Nomor 54 ini lebih condong ke administrasi dan yang lebih lucu lagi mengenai usia. Untuk direksi BPD tidak lebih dari 55 tahun untuk pengajuan pertama dan 60 tahun untuk komisaris. Sudah seharusnya bagi bank mengikuti POJK Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan, fungsi-fungsi yang disyaratkan OJK, seperti Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN) akan mandul dan tak berfungsi.

Karena itu, majalah ini menentang adanya PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, khususnya mengenai BPD. Ketentuan BPD setidak-tidaknya harus mengacu pada UU OJK (dengan POJK-nya) dan Bank Indonesia (dengan PBI-nya). Banyak pasal yang bertubrukan dengan ketentuan yang sudah ada. Majalah ini mendorong OJK dapat membicarakan masalah tersebut dengan pemerintah. Jangan biarkan BPD dikembalikan ke “zaman primitif”—diisi orang-orang yang tidak punya kemampuan tinggi dan hanya akan menjadi kasir gubernur, yang menjadi kuasa pemegang saham.

Selama ini BPD sudah berkinerja sangat bagus. Sepuluh tahun lalu aset BPD Rp185 triliun, tapi kini (Maret 2018) sudah mencapai Rp638 triliun dengan penguasaan pasar 8,5%. Penilaian GCG di BPD juga sudah membaik dengan hadirnya para profesional. Karena itu, mau tidak mau BPD harus dikecualikan. Pengelolaan bank tentu berbeda dengan pengelolaan PDAM, PD pasar, atau sektor riil lainnya.

Kita hanya berharap OJK bisa menjembatani masalah ini. Jika OJK hanya diam dan menyuruh BPD berjuang sendiri, sudah seharusnya kita ramai-ramai mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)—karena mengelola bank bukan seperti mengelola pasar atau perusahaan pengelola sampah. Kita berharap OJK hadir di BPD.

Majalah ini tidak rela, karena keluarnya PP Nomor 54 Tahun 2017 telah mengembalikan pengelolaan BPD seperti “zaman primitif”, yaitu BPD tidak dianggap sebagai sebuah bank, tapi sebuah kasir pemda.(*)

Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank

Related Posts

News Update

Top News