Oleh Paul Sutaryono, pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) UPDM Jakarta, dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya Jakarta
SASMITO Hadinegoro, Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan uang negara yang terkait dengan megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Termasuk mengambil alih 51 persen saham PT Bank Central Asia (BCA), sebagaimana dikutip dari Inilah.com (12/8/ 2025). Bagaimana menyikapinya? Berpikir dengan jernih! Apa saja potensi risiko yang mengiringinya?
Sebagai akibat dari krisis ekonomi 1997/1998, lahirlah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 26 Januari 1998 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 1998. Tugas pokok BPPN adalah menyehatkan perbankan, menyelesaikan aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
BPPN melengkapi organisasinya dengan Divisi Asset Management Credit (AMC) dan Asset Management Investment (AMI). AMC menangani kredit bermasalah dari bank-bank yang ditutup atau diambil pemerintah. AMI menangani aset bank atau pemilik bank. Nilai seluruh aset yang berada di tangan AMC dan AMI mencapai Rp640 triliun (wikipedia.org).
Lantaran pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai program penyehatan perbankan tersebut, muncullah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999 dan Nomor 31/12/KEP/GBI tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitulasi Bank Umum.
Oleh karena itu, pemerintah lalu menerbitkan obligasi rekapitulasi (obligasi rekap). Artinya, pemerintah menjadi pemegang saham semua bank peserta obligasi rekap. Namun, akibatnya, pemerintah setiap tahun membayar utang pokok ditambah bunga obligasi rekap kepada segenap bank peserta rekapitulasi.
Baca juga: Soal Akuisisi Paksa 51 Persen Saham BCA, Ini Penjelasan Manajemen BCA
Menurut Ahmad Iskandar dalam bukunya bertajuk Obligasi Rekapitulasi Perbankan (2011), biaya rekapitulasi perbankan nasional meliputi 11 bank. Bank Mandiri (milik pemerintah 100 persen) dengan biaya rekap Rp176.895,29 triliun, BNI (pemerintah 100 persen) Rp62.463,75 triliun, BCA (Soedono Salim) Rp60.039,79 triliun, Bank Danamon (Usman Atmadjaja) Rp47.025,43 triliun, BRI (pemerintah 100 persen) Rp28.981,60 triliun.
Kemudian, BII (Eka Tjipta Wijaya) dengan biaya rekap Rp25.800 triliun, BTN (pemerintah 100%) Rp13.994,78 triliun, Bank Permata (pemerintah dan swasta) Rp11.891,56 triliun, Bank Niaga (Hashim Djojohadikusumo Cs) Rp9.344,72 triliun, Bank Lippo (Mochtar Riady) Rp6.004,92 triliun, dan Bank Bukopin (Bob Hasan dkk) Rp449,99 triliun.
Untuk mengurangi beban pemerintah dalam obligasi rekap, pemerintah kemudian melakukan divestasi, reprofiling obligasi, assets to bond swap, dan program pengembalian obligasi (buy back).
Sebagai tindak lanjut divestasi tersebut, akhirnya BCA dibeli oleh Farallon (AS) sebesar USD530 juta pada Februari 2002. Pada 2007, Grup Djarum menguasai BCA sepenuhnya setelah membeli 92,18 persen saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka dan Farallon (CNBC Indonesia, 21/2/2023). Di titik inilah kemudian BCA kembali menjadi buah bibir seperti sekarang ini.
Aneka Pertimbangan
Lantas, apa saja faktor yang patut untuk dipertimbangkan dengan matang? Apa pula potensi risikonya?
Pertama, marilah kita berpikir secara jernih. Semua pemangku kepentingan (stakeholders) hendaknya sudi berpikir dengan hati yang jernih dan jujur. Siapa pemangku kepentingan itu? Pemerintah, Kementerian Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Bursa Efek Indonesia (BEI), BCA, mitra bisnis (bank koresponden, rekanan bisnis), dan masyarakat luas (nasabah dan investor) dalam dan luar negeri.
Pembelian 51 persen saham BCA oleh Grup Djarum itu berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN yang efektif 27 Februari 1999. Hal itu juga telah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang efektif 26 April 2007.
Kedua, Pasal 5 Ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal itu menitahkan bahwa penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan (a) mengambil saham pada saat pendirian perseroan terbatas, (b) membeli saham, dan (c) melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Oleh karena itu, ketika tetiba ada usulan agar pemerintah mengambil alih 51 persen saham BCA secara sembarangan, hal itu bertentangan dengan Pasal 7 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak akan melakukan tindakan hak nasionalisasi atau pengambilalihan kepemilikan penanam modal, kecuali dengan UU (ayat 1).
Dalam hal pemerintah melakukan tindakan hak nasionalisasi atau pengambilalihan kepemilikan penanam modal, pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (ayat 2). Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase (ayat 3).
Ketiga, sungguh isu atau ide atau usulan pengambilalihan itu sangat sensitif. Hal itu dapat menurunkan tingkat kepercayaan (trust) bank di mata masyarakat luas, terlebih nasabah dan investor. Padahal, industri perbankan di mana pun sarat dengan kepercayaan. Apalah artinya bank tanpa kepercayaan?
Ingatlah pula kepercayaan BCA di mata investor dalam dan luar negeri, mengingat BCA sebagai emiten papan atas di BEI dengan kapitalisasi pasar (market capitalization atau market cap) Rp1.062 triliun. Apa itu kapitalisasi pasar? Kapitalisasi pasar menunjukkan nilai suatu perusahaan dengan mengalikan harga saham dengan jumlah saham yang beredar.
Inilah urutan 10 emiten dengan market cap terbesar. Posisi pertama diduduki PT Barito Renewables Energy (BREN) Rp1.171 triliun, BCA (BBCA) Rp1.062 triliun, DC Indonesia (DCII) Rp858 triliun, Chandra Asri Petrochemical (TPIA) Rp796 triliun, dan Dian Swastatika Sentosa (DSSA) Rp714 triliun.
Kemudian, menyusul Amman Mineral Internasional (AMMN) Rp620 triliun, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Rp618 triliun, Bayan Resources (BYAN) Rp610 triliun, Bank Mandiri (BMRI) Rp448 triliun, dan Telkom Indonesia (TLKM) Rp328 triliun (Investor Daily, 16/8/ 2025).
Keempat, apalagi, selain memiliki jutaan nasabah, BCA memiliki ribuan bank koresponden, baik di dalam maupun luar negeri sebagai mitra bisnis (business partner) dalam industri perbankan nasional, internasional, dan global. Kepercayaan adalah harga mati bagi industri perbankan! Jangan sampai terjadi penarikan besar-besaran (bank rush).
Untuk itu, jangan sampai isu tersebut terus merajalela tanpa makna. Untunglah, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) yang baru lahir pada 24 Februari 2025 sudah menepis isu Danantara bakal akuisisi BCA.
Kelima, jangan lupa bahwa isu sensitif yang tidak terkendali bisa membawa potensi risiko reputasi. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
Oleh karena itu, bank kelompok apa pun suka tak suka wajib terus-menerus menjaga reputasi masing-masing. Bagaimana kiatnya? Salah satunya, dengan menerapkan tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG) dan manajemen risiko (risk management) dengan saksama. Tak hanya itu, bank pun wajib mematuhi semua ketentuan perundang-undangan dengan baik dan benar (compliance). Hal itu kini dikenal dengan istilah GRC.
Baca juga: Hukum Publik Vs Hukum Privat: Menakar Legitimasi Ide Pengambilalihan Saham BCA
Keenam, lebih dari itu, tatkala isu pengambilalihan itu tidak segera ditangani dan dikendalikan dengan jitu oleh regulator, bisa muncul pula potensi risiko sistemik. Risiko sistemik adalah risiko yang menyebabkan kegagalan satu atau beberapa institusi keuangan sebagai kejadian sistemik. Hal ini dapat berupa guncangan (shock) yang memengaruhi salah satu institusi dan kemudian memengaruhi institusi lain atau menyebar (De Bant et al, 2010).
Oleh sebab itu, kini saatnya bagi OJK untuk melakukan aneka upaya untuk memelihara kestabilan sektor jasa keuangan, terutama terkait dengan isu tersebut. Bahkan, OJK pun wajib menjaga reputasi semua bank dan emiten di BEI.
Ketujuh, sangat disayangkan bahwa putusan-putusan atas peristiwa-peristiwa di masa lalu sering kali dibahas, bahkan “digoreng” dengan kondisi sekarang yang pasti berbeda. Putusan yang telah diambil di masa lalu pastinya sudah dipertimbangkan masak-masak dengan kondisi saat itu.
Adalah sangat menghabiskan waktu dan tenaga bangsa untuk membahas isu semacam itu. Apalagi, kita sedang menyongsong Indonesia Emas pada 2045. Untuk itu, marilah kita berpikir dengan hati yang jernih! (*)









