Jakarta – Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economic and Laws Studies (Celios) menilai bahwa potensi pasar karbon memiliki resiliensi cukup tangguh ditengah risiko ketidakpastian perekonomian global. Pasar karbon dan perdagangan karbon di Indonesia menurut OJK diprediksi menghasilkan USD565 miliar atau Rp8.475 triliun setara dengan 40%-50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Contohnya adalah pembiayaan nanti kalau ada perusahaan dia punya sertifikat karbon itu akan bisa menjadi agunan untuk pembiayaan dan juga untuk misalnya penerbitan obligasi sebagai jaminannya adalah karbon. Bahkan ada yang bilang pasca pandemi sebenarnya yang menjadi alat tukar itu adalah karbon. Termasuk dalam kegiatan G20 di Bali kemarin komitmen yang paling besar adalah pernyataan yang berkaitan dengan penurunan emisi karbon yang nilainya Rp314 triliun atau USD20 miliar,” ungkap Bhima, Selasa, 22 November 2022.
Di Indonesia pasar karbon menjadi komoditas yang menarik pasca pandemi karena memiliki peluang untuk energi terbarukan dan hutan yang penggunaan lahannya bisa menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Hutan tropis bila dinilai dari potensi ekonomi mencapai Rp1.784 triliun dan lahan gambut Rp3.886 triliun.
“Jadi kenapa perdagangan karbon ini bursanya harus segera diorong karena jangan sampai potensi Indonesia dalam konservasi lingkungan ini akhirnya tidak ter optimalkan. Korelasinya dari kehadiran perdagangan karbon karena kalau hanya mengandalkan mitigasi perubahan iklim dari anggaran APBN itu tidak akan kuat dan enggak segampang itu melakukan efisiensi,” jelasnya.
Sehingga, pemerintah harus mencari pendanaan alternatif untuk memitigasi dampak lingkungan yaitu salah satunya melalui skema perdagangan karbon. Yang mana menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp343,6 triliun per tahun.
Untuk itu, jika kredit karbon ditempatkan sebagai komoditi bukan efek mengikuti benchmark negara-negara lain, maka pemerintah dapat segera melaksanakan perdagangan karbon melalui ekosistem perdagangan komoditi (bursa, kliring, dan kustodian) yang sudah tersedia di bawah pengawasan Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra