Pembentukan holding BUMN tidaklah mulus. Kasus holding perkebunan yang dinilai gagal juga menjadi trauma tersendiri. Sementara, holding bank yang janjinya Juli 2017 selesai, kini seperti tinggal cerita. Secara politik ini sulit sekali karena harus minta tanda tangan dari DPR dan tentu juga Menteri Keuangan RI.
Holding masih tarik-menarik. DPR masih sulit karena kalau jadi holding, yang dipanggil ke “Senayan” tentu hanya tujuh holding, misalnya. Sementara, BUMN-BUMN yang selama ini diminta oleh politisi untuk membuat program di daerah pemilihannya setelah adanya holding tentu tidak bisa dipanggil lagi.
Baca juga: Dewan Komisioner Baru OJK Dihantui Keuangan yang Defisit
Untuk itu, banyak harapan dibebankan kepada Presiden untuk dapat menengahi perseteruan antara DPR RI dan Menneg BUMN. Banyak yang bertanya-tanya, apa maunya Presiden, kok membiarkan masalah ini berlarut-larut.
Tentu Presiden juga dapat menghentikan inisiasi revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Segera dihentikan, terutama mengenai kewajiban dirut dan komut BUMN untuk dilakukan fit & proper test oleh DPR RI. Kita tahu DPR adalah proses politik dan politik itu bukan soal kapabilitas, melainkan kompromi. Apalagi, pengelolaan BUMN adalah domain dari eksekutif dan bukan legislatif.
Jangan sampai BUMN dibiarkan terus menjadi sapi perah. Apa motif DPR RI hendak melakukan fit & proper test jika tidak punya motif “memeras”? Sementara, harapan dari Kantor Kementerian BUMN juga tidak sekadar balas budi dengan memasukkan orang-orang yang tidak punya kapabilitas, hanya menumpang makan di BUMN semata, karena BUMN itu kepanjangannya bukan “Badan Usaha Milik Nenek Moyang”, melainkan milik negara yang harus terus dijaga. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank