Jakarta – Ikatan Dosen Muda Perguruan Tinggi Muhamadiyah (IDM-PTM) turut bersuara mengenai situasi politik praktik jelang hajatan demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Setidaknya, ada sembilan pernyataan sikap yang dikeluarkan IDM-PTM. Salah satunya, kaum cendekia harus mengedepankan sikap kehati-hatian. Sebab, mereka rentan diperalat atau disalahgunagan sebagai alat legitimasi.
Pertama, universitas adalah rumah bagi intelektualitas, intelegensia dan kecendekiaan. Di dalamnya tumbuh pusparagam pikiran yang plural, majemuk dan tak pernah tunggal serta mustahil diseragamkan.
“Perbedaan pikiran, gagasan, sikap, termasuk kecenderungan preferensi politik adalah niscaya. Dengan demikian, nisbah gagasan atau sikap tertentu pada nama perguruan tinggi tertentu yang seolah sebagai sikap tunggal universitas tersebut adalah bertentangan dengan prinsip dasar universitas itu sendiri, kata Ketua IDM-PTM Isnan Hari Mardika, dalam keterangan resmi, dikutip Senin (5/2).
Baca juga: Civitas Akademika UGM Sampaikan Petisi Bulaksumur, Sebut Rezim Jokowi Menyimpang
Kedua, peran publik kaum cendekia dalam merespons isu tertentu yang berkembang di masyarakat merupakan bagian integral dari tri dharma perguruan tinggi yang menjadi kewajiban kaum cendekia untuk memajukan kehidupan berbangsa dan meninggikan kualitas peradaban publik.
Namun demikian, kata dia, dalam momentum pemilu seperti sekarang, hendaknya kaum cendekia mengedepankan sikap kehati-hatian karena rentan diperalat atau disalahgunagan sebagai alat legitimasi atau delegitimasi politik sebagai instrumen mobilisasi yang mengerdilkan peran intelektual hanya sebatas instrumen politis.
“Kaum cendekia harus sadar bahwa pada status, posisi, dan peran intelektual yang disandangnya, melekat kapital sosial dan modalitas politik yang bisa digunakan sebagai alat legitimasi dan mobilisasi electoral,” jelasnya.
Ketiga, mobilisasi kaum cendekia yang mengatasnamakan guru besar, forum akademisi, atau perguruan tinggi tertentu, yang belakangan marak, berjilid-jilid, dan sahut-menyahut, rentan disalah tafsir sebagai pemihakan terhadap calon tertentu di satu sisi dan bentuk delegitimasi terhadap calon yang lain di sisi sebaliknya.
Hal ini terbukti mulai ada suara yang mengindikasikan gerakan tersebut sebagai manuver para akademisi tertentu itu untuk orkestrasi politik elektoral.
Apalagi, bila sebagian akademisi tersebut mempunyai afiliasi atau kedekatan dengan kubu politik tertentu, sebaiknya menahan diri untuk tidak menarik-narik nama PT ke panggung politik elektoral.
Keempat, IDM-PTM tak sedang mengatakan bahwa kaum cendekia harus berjarak, netral, dan bebas nilai. Pemihakan sekalipun bukanlah sesuatu yang tabu. Namun demikian, pemihakan intelektual adalah terhadap nilai dan prinsip, bukan kelompok atau calon tertentu.
Preferensi dan afiliasi pribadi terhadap partai atau calon tertentu tentu sah adanya, namun bila memang demikian hendaknya disampaikan secara terbuka, bukan membingkai manuver politik sebagai gerakan moral intelektual.
Kelima, perguruan Tinggi dan kaum cendekia hendaknya mampu menjaga diri dan menahan hasrat untuk tidak gampangan, asal tampil dan akrobatik pada panggung-panggung politik rendahan yang berorientasi untuk mengais remah-remah elektoral untuk kepentingan kelompok politik terntentu.
Keenam, perguruan tinggi dan kaum cendekia hendaknya lebih cermat, melaraskan suara mereka pada denyut dan detak jantung aspirasi publik, serta memosisikan pemihakan pada kehendak arus besar masyarakat, bukan sebaliknya.
Ketujuh, perguruan tinggi dan kaum cendekia hendaknya turut mendorong agar pesta demokrasi yang sudah kali keenam sejak tonggak reformasi.
“Hal ini beranjak dari modus-modis politik rendahan dan primitif yang mengeksploitasi sentimen, dan menebar narasi ketakutan yang meminggirkan rasionalitas politik menuju politik yang berkemajuan dengan politik gagasan yang mengedepankan nalar dan akal budi, dalam bingkai fastabiqul khairat menuju visi Indonesia Emas untuk mengangkat derajat Indonesia menjadi negara maju,” bebernya.
Kedelapan, seharusnya perguruan tinggi dan cendekia saat ini fokus menyemarakkan edukasi publik untuk dapat memilih secara demokratis, berintegritas, dan penuh kesadaran.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Bijak Memilih Ajak Generasi Muda Kritis Tentukan Pilihan
Menurutnya, cendekia hendaknya percaya bahwa rakyat adalah subyek politik yang merdeka dan cukup cerdas untuk menentukan pilihannya.
Oleh sebab itu, perguruan tinggi cukup memposisikan diri sebagai mercusuar yang memberikan panduan moralitas dan akhlak politik sebagai pegangan publik untuk memilih, bukan mengarah-arahkan dukungan.
Kesembilan, sebaliknya IDM-PTM menahan diri untuk tidak menebarkan narasi-narasi ketakutan, kecurangan pemilu, dan tuduhan serampangan netralitas penyelenggara yang bisa mendelegitimasi pemilu, dan berakibat pada memanasnya suhu politik menjelang pesta demokrasi.
“Hentikan segala laku culas untuk menggiring seolah-olah negara dalam kondisi darurat dan harus diselamatkan. Hentikan antagonisme politik dan demonisasi yang menggiring kontestasi politik menjadi perang bubat antara kubu kebaikan dan kubu kemungkaran, antara pahlawan melawan begundal,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama