Oleh Togi B. Girsang, Praktisi Manajemen Risiko, Tata Kelola, dan Kepatuhan
SEPERTI diketahui, Peraturan OJK (POJK) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah diundangkan dan berlaku sejak 31 Oktober 2024. Pertanyaannya, adakah gejolak signifikan yang ditimbulkan?
Jika dari konteks, OJK tetap teguh berprinsip bahwa LJK harus patuh dan taat serta mampu menerapkan pelindungan bagi masyarakat. Jika dari konten, maka LJK patut menyempurnakan ulang tata cara penerapan strategi anti fraud yang makin dapat diandalkan.
Secara struktur, peraturan ini menyempurnakan beberapa bagian regulasi terdahulu tetapi sekaligus mencabut satu regulasi. Satu, regulasi dicabut seluruhnya: Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2019. Dua, regulasi dicabut sebagian: Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2019 Bab XII Pasal 50-61; Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 Bab XII Pasal 53-64; Peraturan OJK Nomor 55/POJK.05/2017 Pasal 4 ayat (3) huruf e dan f; dan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 Pasal 72.
Bagi seluruh LJK di bawah naungan OJK, regulasi ini wajib diterapkan. LJK yang dimaksudkan antara lain perbankan, perasuransian, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan mikro (termasuk BPR), pasar modal, dana pensiun, modal ventura, pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, termasuk penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi.
Sejalan dengan regulasi ini, Strategi Anti Fraud adalah strategi LJK dalam mengendalikan fraud melalui rancangan strategi yang mempertimbangkan proses dan karakteristik dari potensi fraud.
Baca juga: OJK Terbitkan Aturan Strategi Anti Fraud bagi Lembaga Jasa Keuangan
Siapa saja yang digadang untuk bertanggung jawab? Tentu saja direksi sebagai organ yang berwenang dan bertanggung jawab penuh baik di dalam maupun luar pengadilan. Dewan komisaris juga diminta aktif melakukan pengawasan dan memberi nasihat kepada direksi.
Pasal 2 menegaskan kembali jenis dan komponen yang tergolong fraud. Yang dimaksud antara lain korupsi, termasuk penyuapan dan pemerasan; penyalahgunaan aset; kecurangan laporan keuangan, yaitu melebihkan/mengurangkan kekayaan bersih dan/atau pendapatan bersih; penipuan; dan pembocoran informasi rahasia dan tindakan yang tergolong fraud sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selaras dengan Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023, juga diatur tujuh prinsip dalam pelindungan konsumen, yaitu (1) edukasi yang memadai; (2) keterbukaan dan transparansi informasi; (3) perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab; (4) pelindungan aset, privasi, data konsumen; (5) penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien; (6) penegakan kepatuhan; dan (7) persaingan yang sehat.
Oleh karena itu, makin nyata bahwa OJK sangat serius berusaha memastikan konsumen mendapat pelindungan yang memadai, termasuk pelindungan dari perilaku yang dikategorikan fraud.
Bagaimana memastikan LJK mampu melaksanakan regulasi strategi anti fraud ini? Ada beberapa parameter.
Pertama adalah tingkat efektivitas. Efektivitas pelaksanaan regulasi selalu didahului dengan beberapa komponen dasar. Satu, keberadaan pedoman dan SOP yang memayunginya. Apakah sudah dikalibrasi sesuai dengan regulasi terbaru? Apakah sudah dikinikan secara berkala? Apakah sudah terdapat penguatan fungsi anti fraud yang terjadi secara terus-menerus?
Dua, kecukupan konten dan konteks, termasuk di dalamnya adalah (a) evaluasi kondisi lingkungan internal dan eksternal, (b) kompleksitas kegiatan usaha, (c) jenis dan risiko terkait fraud; dan (e) kecukupan sumber daya yang dibutuhkan, termasuk unit kerja/fungsi yang menangani, sertifikat keahlian, termasuk garis komando pertanggungjawaban kepada direksi, dan pelaporan langsung kepada dewan komisaris.
Kedua, ruang lingkup yang menjadi dasar pencegahan dan penanganan agar kegiatan usaha LJK tidak dimanfaatkan dalam aktivitas yang terkait dengan tindak pidana.
Ketiga, menetapkan sasaran dan program kerja. Apa saja sasaran utama dan program kerja yang dirancang dalam rangka penerapan strategi anti fraud? Keempat, penguatan empat pilar, meliputi pencegahan, deteksi, investigasi, pelaporan, dan sanksi; dan pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut. Kelima, penerapan manajemen risiko, termasuk pengendalian dan pemantauan.
Keenam, edukasi, meliputi pengembangan kompetensi, dan/atau sosialisasi atas kebijakan anti fraud sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun. Edukasi ini diberlakukan baik kepada pihak internal maupun eksternal sehingga lingkungan bisnis yang dikelola mampu bersifat kondusif terhadap pelaksanaan Strategi Anti Fraud.
Baca juga: 3 Manfaat Teknologi AI Generatif bagi Perbankan, Salah Satunya Tangkal Fraud
Bagaimana jika muncul kejadian fraud yang berdampak signifikan? LJK wajib menyampaikan laporan kejadian kepada OJK. Laporan tersebut mengacu pada Pedoman Pengisian Laporan Fraud Berdampak Signifikan untuk disampaikan secara lengkap, akurat, kini, dan utuh. Dalam hal terjadi perubahan Strategi Anti Fraud, LJK wajib menyampaikan perubahan tersebut paling lama tujuh hari kerja sejak terjadi perubahan.
Terkait kewajiban pelaporan, bagi LJK yang memiliki modal inti dan/atau disetor Rp50 miliar atau aset Rp500 miliar wajib menyampaikan laporan penerapan Strategi Anti Fraud paling lambat 31 Januari 2025. Sementara, bagi LJK lain yang memiliki modal disetor atau aset kurang dari jumlah di atas, maka laporan disampaikan selambat-lambatnya 31 Oktober 2025. Sudah siapkah LJK tetap comply dengan regulasi?