Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
MUSIM gugur telah tiba. Tidak hanya saat musim Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). Rapat kinerja pun bisa berbuah pemberhentian mendadak. Para direksi bank pembangunan daerah (BPD) hari-hari ini sedang harap-harap cemas. Nasib dua direktur utama (dirut) BPD menjadi contoh hidup. Berhenti di tengah jalan ketika kinerja bank yang dipimpinnya sedang kinclong. Namun, kalau boleh jujur, direksi BPD sudah tidak “nyaman” di kursi panas direksi.
Keduanya adalah Rahmat F. Pohan (Bank Sumut) dan Hanawijaya (Bank Kalsel). Keduanya diberhentikan di tengah jalan dan mendadak, tanpa agenda pergantian. Hanya dengan rapat tanpa agenda pergantian pengurus, pemecatan bisa dilakukan. Seperti tak ada aturan. Diberhentikan begitu saja. Lalu, dilantiklah pelaksana tugas (plt). Titik.
Sebelumnya, Agus Syabaruddin (Bank Banten) juga mengalami nasib yang tak berbeda. Terlalu banyak nama dirut BPD yang mengalami nasib serupa. Lihat kemelut di Bank NTT, yang sampai sekarang tak kunjung selesai. Inti masalahnya juga terjadi pemecatan di tengah jalan. Tanpa prosedur lazimnya bank. Bahkan, ada tren pemberhentian direksi oleh Pejabat Sementara Kepala Daerah yang juga akan ikut pilkada periode berikutnya. Pendek kata, kepala daerah bertindak sewenang-wenang seperti hendak “menguasai” BPD. Ini harus dihentikan.
Bank bukanlah badan usaha milik daerah (BUMD) lainnya, seperti PDAM atau usaha lainnya. Regulasi bank sangat ketat. Diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan tentu Bank Indonesia (BI) untuk sistem pembayaran. Kinerjanya diawasi dan diatur secara ketat. Juga, menyangkut kesehatan bank dan tentu good corporate governance (GCG).
Pengurus bank, seperti direksi dan komisaris, juga harus lulus fit and proper (F&P) test di OJK. Direksi dan komisarisnya juga harus punya “SIM” manajemen risiko level 5 untuk direksi dan level 1 untuk komisaris. Jadi, terkadang banyak direksi BPD yang mental, karena belum lulus F&P. Bahkan, sampai hitungan bulan belum terisi posisi dirut, salah satu sebabnya calon yang diajukan tidak lulus F&P.
Harus diakui pula, dalam perseroan terbatas, soal pecat-memecat itu urusan pemegang saham. Namun demikian, selayaknya para pemegang saham juga harus mematuhi rambu-rambu dari OJK. Tata cara pemberhentian direksi juga harus “sopan” dan “beradab”, selayaknya bank. Misalnya, lewat RUPS dan pihak OJK setidaknya mengetahui rencana pemegang saham lebih awal.
Ada rapat nominasi dari komite remunerasi dan nominasi (KRN). Hasil rapat ditujukan kepada dewan komisaris untuk diajukan dalam RUPS. Jadi, bukan main pecat, dan merasa berkuasa penuh sebagai pemegang saham. Pemberhentian tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang. Tidak bisa main “pokoknya” berhenti di tengah jalan lewat rapat biasa. Harus ada forum pemegang saham, yaitu RUPS.
BPD di Banyak Simpang Jalan
Saat ini BPD berada di banyak simpang jalan. Tahun politik merupakan tahun harap-harap cemas, khususnya bagi pengurus BPD. Lebih ngeri lagi jika wakil dan kepala daerah beda partai. Lalu, keduanya bersaing untuk menjadi kepala daerah. Runyam. Salah sedikit menyervis salah satu wakil atau kepala daerah, bisa “lenyap” dalam sekejap. Hal itu terjadi di Bank Sumut.
Juga, masalah konversi menjadi syariah yang sejak setahun lalu menjadi topik hangat, sebelum UU P2SK, karena ada kewajiban konversi syariah atau spin off. Setelah UU P2SK disahkan, isu konversi syariah kembali reda. Dan, OJK pun “diam-diam” tampaknya lebih senang jika tidak terjadi spin off unit usaha syariah (UUS).
Sebab, OJK meyakini bank itu masalah skala ekonomi. Dan, faktanya UUS dari BPD itu ukurannya kecil-kecil. Tidak efisien karena size modalnya cekak. Sementara, keputusan melakukan konversi lebih banyak didasarkan pada keputusan emosional, bukan rasional. Hal ini juga menyangkut keputusan politik, bukan keputusan bisnis untuk mendorong BPD meningkatkan peran kepada seluruh masyarakat.
Dual system, yaitu konvensional dan syariah, harusnya menjadi pilihan terbaik, karena diperbolehkan. Itu lebih bisa melayani seluruh lapisan masyarakat. Jangan memaksakan konversi hanya karena partainya memenangkan pilkada.
Keputusan sesaat. Padahal, mengelola bank itu berkelanjutan. Lebih baik, biarkan pasar yang memutuskan apakah jalur syariah atau konvensional. Jangan dipaksakan. Apalagi bahan baku SDM bersumber dari konvensional. Hal ini tentu membutuhkan masa transisi yang tidak sebentar. Sudah pasti ada perpindahan nasabah yang kurang nyaman dengan konsep syariah. Perbankan syariah itu persoalan ekonomi dan bukan persoalan agama. Jadi, harus rasional, bukan emosional. Dua system lebih dapat mengakomodasi masyarakat yang majemuk.
Simpang jalan berikutnya yang dilalui BPD adalah menyangkut PP 54 Tahun 2017 yang lebih banyak memaksa BPD kembali ke “zaman batu.” Bagaimana tidak seperti zaman batu, BPD yang sudah lebih dahulu melakukan reformasi karena tuntutan pasar, tiba-tiba ditarik seperti BUMD sektor riil. Bank disamakan dengan BUMN, PD Pasar, PD Percetakan, apotek, atau PDAM.
Belum lagi, pembatasan usia direksi dan komisaris yang tak diatur dalam POJK. Juga, wajib ada komisaris utusan dari pusat. Bahkan, masalah kepemilikan yang wajib 51% untuk menjadi Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) juga sulit dipenuhi, kecuali BPD tertentu, seperti DKI Jakarta.
Soal kepemilikan saham yang harus 51% (pasal 5, ayat [2]). Namun, pemda untuk setor modal lagi menjadi 51% bukan perkara mudah. Apalagi, bagi daerah-daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pas-pasan. Sementara, di dalam POJK 56/POJK 03/2016 tentang Kepemilikan Bank Umum disebutkan bahwa batas maksimum kepemilikan saham pada bank (pasal 2, ayat [2]) bagi setiap kategori pemegang saham ditetapkan sebagai berikut: (a) 40% dari modal bank untuk badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank; (b) 30% untuk badan hukum bukan lembaga keuangan; dan (c) 20% untuk perorangan.
Jika mengacu pada PP 54 Tahun 2017, pengelolaan BPD yang notabene adalah bank disamakan dengan BUMD lainnya. Beleid baru ini akan mengerdilkan BPD. Ibaratnya BPD akan masuk kandang “kasir” kepala daerah (pemda), dan menjadi terisolasi kembali. Problem pemegang saham ini justru anti kemajuan, sesuai dengan zaman yang ada.
Go Public, Mengapa Tidak?
Memang banyak persimpangan yang dilalui BPD. Masalah modal yang cekak juga menempatkan BPD di simpang jalan “tikungan maut”. Menurut perkiraan Infobank Institute, sampai akhir 2023, masih ada 10 BPD yang modalnya di bawah Rp3 triliun. Ada upaya untuk membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB).
Namun, itu tidak mudah. Karena, ini menyangkut politik antar partai dan antar daerah. Komplikasi bisa terjadi, tapi sebenarnya dapat menghindari intervensi yang berlebihan, karena dimiliki banyak daerah. Namun, bisa jadi juga makin rumit karena harus menjamu banyak bos. Selain karena memang kondisi kesehatan antar-BPD yang tidak sama kinerjanya. Misal, yang paling mungkin lebih awal adalah KUB syariah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Salah satu cara jika KUB tidak berhasil, adalah merger antar-BPD. Namun, ini juga tidak mudah. Akan banyak komplikasi. Menyatukan budaya dan operasional dari bank yang berbeda bukanlah pekerjaan gampang. Cara lain yang lebih baik adalah go public. Pilihan go public tidak hanya untuk menambah modal, tapi juga dapat memperbaiki GCG, karena aturan perusahaan publik lebih ketat. Harus didorong untuk itu.
Agar tetap bisa berjalan dengan baik, ke depan, BPD jangan dijadikan “sapi perahan” kepala daerah dan para tim sukses. Pegawai bank daerah (baca: direksi) bukan seperti pegawai negeri sipil (PNS) pemda. Profesi mereka bankir, dan syarat untuk menjadi direksi sama dengan bank umum lainnya milik pemerintah atau konglomerat.
Ke depan – pemerintah juga harus terus mendorong kemajuan BPD. Bank daerah ini dapat menjadi penyalur bantuan sosial ke daerah-daerah. Sudah selayaknya dikasih porsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang menjadi andalan program pemerintah. Penempatan dana pemda di bank-bank daerah sudah seharusnya terus dilakukan, dan tidak diganggu dengan aturan-aturan untuk ditempatkan di bank-bank BUMN. Namanya bank milik sendiri, kok duitnya ditaruh di bank milik orang lain.
Dana-dana dari program pemerintah pusat tak lewat BPD, padahal BPD berada di daerah. Terlalu banyak contoh BPD ditinggalkan oleh program pemerintah. Jadi, tak heran BPD “dikerdilkan” dari pemda sendiri dan pemerintah pusat, meski pemerintah pusat ikut intervensi lewat PP 54 Tahun 2017. Mau enaknya saja. Apalagi, dividen yang dihasilkan BPD tidak sungkan untuk diterima, meski dananya dibiarkan ke bank bank lain.
Pada akhirnya – semua pihak, terutama OJK dan BI – harus mendorong BPD lebih punya peran penting. Tahun 2005 market share BPD masih 7,05%, tapi tahun 2010 sudah sebesar 7,95%, dan 8,68% di tahun 2022. Para profesional, baik dari dalam maupun dari luar, sudah mulai menjadi komandan yang mumpuni di BPD. Hasilnya, terjadi percepatan transformasi di tubuh BPD. Direksi BPD merupakan profesional yang seharusnya terus didorong. Tidak diganggu dengan kepentingan sesaat dari kepada daerah.
Jadi, jika hari-hari ini masih terdengar ada pencopotan dan perlakuan tidak adil terhadap manajemen BPD oleh pemegang saham, sudah seharusnya OJK dapat menjadi benteng terakhir. Soal pemegang saham yang melakukan pemecatan secara mendadak tanpa RUPS itu tidak sesuai dengan tata cara pergantian direksi dan komisaris. Selain basis kinerja, harusnya key performance indicator (KPI) menjadi pegangan. Jangan memperlakukan profesional bank bak memperlakukan pegawai PD Pasar, atau PDAM.
Semua ada aturannya – dan harus ada yang menghentikan kesewenang-wenangan pemegang saham ini. Jangan kembalikan BPD ke “zaman batu” – yang bisa diperlakukan seperti mengelola “toko kelontong.” Atau, karena BPD merupakan sumber pendapatan penting pemda, maka perlu dijadikan “komoditas” strategis. Pendek kata, BPD jangan “dikerdilkan” dari segala penjuru, termasuk oleh pemiliknya sendiri.
Di sinilah, OJK sebagai pengawas terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB dan BI sebagai pengawas sistem pembayaran dapat menjadi benteng dari segala intervensi yang mulai kasatmata. Pemda selaku pemegang saham bisa “dipaksa” untuk berkonsultasi dengan OJK jika hendak melakukan pergantian direksi. Jangan semena-mena. Semua ada aturannya, dan GCG itu bukan hanya berlaku bagi direksi dan komisaris, tapi juga penting untuk pemegang saham.
Sekali lagi, tuan-tuan pemegang saham, jangan perlakukan BPD bagaikan “sapi perah”. Banyak harapan kepada OJK agar bisa “memaksa” pemegang saham melaksanakan GCG yang baik sesuai POJK. Sebab, GCG itu hakikatnya melindungi BPD sendiri dari jurang kehancuran. Apalagi, ke depan, bank selalu membutuhkan modal yang kuat, dan bukan urusan dividen jangka pendek sepanjang masa jabatan kepala daerah.
Sesungguhnya – BPD bukanlah warisan dari nenek moyang yang harus “dikerdilkan”. Tapi, harus dirawat untuk menjadi kebanggaan daerah untuk kemakmuran masyarakat di daerah. Pemerintah pusat juga dapat menjadikan BPD sebagai pelaksana program-program bantuan sosial ke seluruh masyarakat di daerah.
Kini kondisi BPD sudah berubah lebih baik, tidak seperti 10 tahun lalu atau sebelum krisis tahun 1998. Sudah berubah, dengan produk, teknologi, dan layanan yang memadai untuk menjawab kemajuan zaman. Tentu masih ada kekurangan, tapi BPD terus berproses menuju transformasi. Jangan memandang BPD dengan kacamata seperti 10 tahun lalu. Tidak seharusnya BPD dijadikan “mainan” kepala daerah. Apalagi, yang sering terjadi, digangguin program CSR dari banyak tim sukses. Belum lagi “rongrongan” dari anggora DPRD setempat.
Please! OJK harus menjadi benteng GCG dari “kesewenang-wenangan” pemegang saham BPD yang tidak GCG sama sekali. Guyonan warung kopi, dibanding dengan bankir swasta dan asing serta BUMN, “Bankir BPD kalau meninggal semua masuk surga. Apa sebab? Karena selama hidupnya di dunia menjadi bankir BPD sudah seperti di neraka, maka langsung masuk surga… he he he”.