Jakarta – Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengingatkan agar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah segera mengadopsi teknologi informasi dalam layanannya kepada nasabah. Jika terlambat, bukan mustahil kemampuan daya saingnya akan menurun menghadapi kompetisi di industri keuangan yang makin ketat.
“Pada akhirnya layanan di BPR dapat tergusur oleh lembaga-lembaga yang mengusung layanan jasa keuangan dengan finansial technology (Fintech),” ujar Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta, dalam acara Indonesia Banking Expo (IBEX) 2017 di Jakarta Convention Center, Rabu, 20 September 2017.
Menurutnya, sejak April hingga Agustus 2017, regulator telah mengeluarkan surat izin bagi 17 perusahaan Fintech untuk menjalankan kegiatan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Sementara hingga September tahun ini, sudah 127 Fintech yang terdaftar di Asosiasi Fintech Indonesia.
Maraknya perkembangan Fintech di Indonesia, kata dia, membuat transaksi keuangan melalui teknologi informasi juga sangat menggiurkan. Mengutip data konsultan riset pemasaran Statista, pada tahun 2017 nilai transaksi di Indonesia diperkirakan mencapai US$18,6 juta dari US$14,5 juta pada 2016.
“Sebagian besar atau lebih dari 90 persen transaksi tersebut berasal dari kegiatan digital payment. Sisanya dari produk layanan pinjaman dana,” ucapnya.
Oleh sebab itu, lebih lanjut dirinya berpandangan bahwa pemanfaatan teknologi informasi terhadap layanan jasa keuangan yang terjadi belakangan ini menunjukkan perkembangan yang pesat. Selain lebih efisien, teknologi juga mampu membuat daya jangkau produk atau layanan lebih luas.
“Layanan model tradisional berpotensi kalah dengan layanan yang menggunakan teknologi informasi. Tanpa memanfaatkan Fintech, bukan tak mungkin layanan BPR dan BPRS akan tergusur,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut, dirinya menyarankan agar BPR dan BPR Syariah bekerja sama melalui Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) untuk mengembangkan teknologi informasi. Hal ini untuk mendukung layanan yang diberikan oleh bank komunitas tersebut kepada para konsumennya.
Melalui kerja sama yang dikoordinasi oleh Perbarindo, biaya yang dikeluarkan dapat lebih mudah. Kalaupun tidak ingin mengembangkan sendiri, bisa melalui model kerja sama dengan perusahaan pengembang Fintech, sehingga daya saing BPR dan BPR Syariah akan semakin kuat.
“Memang biaya untuk mengembangkan terutama pada tahap awal, itu sangat mahal. Tapi kan kalau digotong ramai-ramai bisa lebih murah,” paparnya.
Di sisi lain, kata dia, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan OJK Nomor 75/POJK.03/2016 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi Bagi BPR dan BPRS. Kebijakan ini merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh lembaga keuangan tersebut. (*)