Jakarta – Pemerintah telah memastikan menaikkan cukai rokok 12,5 persen yang berlaku per 1 Februari 2021. Keputusan yang diambil di tengah pandemi ini lantas mengundang pro kontra dari masyarakat.
Menanggapi hal ini, Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menilai kebijakan ini kurang berpihak pada petani tembakau.
“Kalau bagi kami, ini adalah solusi bagi negara untuk mendapatkan pundi-pundi pemasukan di dalam masa pandemi dengan target bahwa isu yang dibahas tentang prevalensi. Tetapi arah intinya juga terhadap pemasukan,” ujarnya dalam diskusi daring Akurat Solusi dengan tema, ‘Kenaikan Cukai Tembakau Solusi atau Simalakama?’ di Jakarta, Rabu, 23 Desember 2020.
Padahal kebijakan tersebut merupakan simalakama bagi petani. Pasalnya, dalam kondisi normal, petani tembakau sudah cukup terpuruk dengan kenaikan cukai awal tahun 2020 lalu. Berkaca pada kenaikan cukai sebelumnya yang diumumkan Menkeu Sri Mulyani pada 14 September 2019, Agus membeberkan terjadi penurunan dan merosotnya penyerapan tembakau di tingkat petani.
“Dan dampak itu terjadi, kembali kita rasakan pada tahun 2020. Di samping pandemi yang penuh dengan protokoler kesehatan, kemudian dihantam cukai yang begitu tinggi. Sehingga hasil dari kami mengalami kerugian dikarenakan harga yang kurang kompetitif,” sambung dia.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menambahkan bahwa memang industri pengolahan tembakau mengalami penurunan utilisasi selama pandemi covid-19 berlangsung.
Sampai dengan November 2020, utilisasi industri pengolahan tembakau tercatat tumbuh 57,5 persen, lebih rendah dibandingkan sebelum covid 66 persen. “Kondisi pandemi berpengaruh pada IHT, berdampak pada the weakest link industri yaitu pekerja buruh rokok, petani tembakau, dan pedagang retail,” papar dia.
Sementara itu, laju pertumbuhan ekspor tembakau olahan secara tahunan pada kuartal-III/2020 juga mencatatkan penurunan mencapai minus 26,3 persen. Begitu juga dengan impor yang minus 7,5 persen.
Kendati demikian, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyampaikan kebijakan terkait dengan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 12,5 persen telah mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau pada 2021 lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan cukai pada 2020 lalu, yang sebesar 23 persen.
“Jadi ada upaya turut mempertimbangkan mengambil concern pandemi selama ini, jadi juga bisa tetap mendukung ekonomi tumbuh ke depannya,” katanya.
Dia memaparkan ada beberapa bauran kebijakan yang mempengaruhi kenaikan cukai hasil tembakau. Selain mempertimbangkan sisi konsumsi, peningkatan cukai hasil tembakau telah memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja dan kesejahterannya, terutama tenaga kerja dan petani tembakau. (*)