INDONESIA kembali kehilangan salah satu putra terbaik. Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Presiden Republik Indonesia ketiga RI, meninggal dunia pada 11 September 2019 dalam usia 83 tahun. Bagi bankir nasional yang terlibat dalam restrukturisasi bank-bank pemerintah pada 1998, BJ Habibie memiliki peran penting dalam mempercepat proses merger empat bank pemerintah yang sudah dicanangkan pada akhir 1997. Setelah didapuk menjadi Presiden RI pada 21 Mei 1998, Habibie yang memimpin negara dalam keadaan compang-camping karena dihantam krisis, kemudian berusaha merealisasikan merger empat bank menjadi bank yang ia beri nama Bank Mandiri.
Adalah Robby Djohan, bankir profesional yang kemudian mendapatkan tugas untuk melaksanakan merger tersebut. Robby sendiri adalah bankir yang tidak tertarik berinteraksi dengan birokrasi. Jika akhirnya mau ditugaskan memimpin Garuda Indonesia pada akhir 1997, itu pun karena memenuhi permintaan sahabat karibnya, Tanri Abeng yang waktu itu menjabat Menteri Negara Pemberdayaan BUMN. Setelah delapan bulan ditugaskan merestrukturisasi Garuda Indonesia, Robby diminta Tanri Abeng memimpin proses merger empat bank pemerintah.
Sebelum memimpin Bank Mandiri, Robby diminta Tanri bertemu Presiden BJ Habibie. Bagi Robby, bertemu presiden menyangkut pekerjaan semacam restrukturisasi merupakan pertama kali. Sewaktu diangkat menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia, Robby tidak pernah bertemu Soeharto yang waktu itu masih menjadi presiden. Dalam salah satu bukunya yang berjudul The Art of Turn Around, Robby menceritakan, pada suatu malam, dirinya bersama Tanri bertemu dengan Habibie di rumahnya, di kawasan Kuningan, Jakarta.
Robby sendiri yang tidak tertarik jabatan sebagai Dirut Bank Mandiri merasa tidak deg-degan bertemu presiden. Dari pengamatan sebelumnya, Robby memandang Habibie sebagai seorang yang kaku, otoriter, dan memiliki visi yang luar biasa. Setelah 10 menit Habibie bercerita bagaimana menyelesaikan krisis ekonomi. Tanri melaporkan soal merger Bank Mandiri, “Ini adalah Robby Djohan yang telah merestrukturisasi Garuda dan sesuai dengan laporan saya kepada Bapak bahwa dia adalah kandidat kuat untuk melaksanakan merger,” jelas Tanry.
Presiden Habibie lalu mengatakan, “Dat is goed.” Lalu Habibie mengatakan, keempat bank harus digabung agar kuat dan menjadi bank terbesar di Asia Tenggara. Bank Mandiri harus hidup dan berkembang karena pasar, tidak lagi memperoleh proteksi, subsidi, dan fasilitas lainnya. Mendengar kata-kata Habibie, Robby kaget bercampur kagum dengan visi Habibie dan merasa ada chemistry. “Untuk menjadi bank besar seperti itu, andalah yang akan melakukannya. Bagaimana Bank Mandiri akan saudara Robby bangun dan bagaimana strateginya?” lanjut Habibie kepada Robby.
Robby mengatakan, legal merger harus dilaksanakan cepat, kemudian secara efektif kredit-kredit macet yang jumlahnya sangat besar harus segera direstrukturisasi. Robby menikmati pertemuan singkat itu sangat produktif. Dan Robby menilai Habibie bukanlah sosok yang kaku dan otoriter seperti yang ia duga. Ternyata Habibie adalah presiden yang sangat menghargai profesional dan paham betul apa yang dibutuhkan seorang pemimpin perusahaan untuk berhasil. “Seluruh tanggung jawab Bank Mandiri, saya serahkan kepada anda. Kalau anda ada masalah dengan birokrasi beri tahu saya, karena Bank Mandiri sangat penting,” pesan Habibie kepada Robby Djohan.
Atas kepercayaan dan dukungan yang diberikan Habibie, Robby Djohan berhasil memimpin mega merger Bank Mandiri lebih cepat dari yang ditargetkan pemerintah. Kini, BJ Habibie bisa kembali bertemu dengan Robby Djohan, bankir legendaris yang lebih dulu meninggal pada 16 Mei 2016. BJ Habibie dan Robby Djohan adalah dua putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. (Karnoto Mohamad)